Friday, June 06, 2008

Lanjutan ANTARA PREMAN DAN SARJANA

MEMBONGKAR ULANG GAMBARAN TENTANG PREMAN (Diskusi Lanjutan Antara Preman dan Sarjana di Karo)
Oleh Juara Rimantha Ginting

Senang sekali membaca reaksi yang segera dari dua kalimbubu Goldian Purba dan Benyamin Sitepu (saya bebere Sitepu) terhadap tulisan saya sebelumnya mengenai preman dan sarjana di Karo. Keduanya menangkappesan samar-samar tulisan itu dengan jelas. Namun terasa ada sedikit ganjalan akan kata preman. Berikut ini saya mencoba membongkar ganjalan tersebut.

Sebagian besar orang Karo sekarang ini memakai kata "begu" sebagai sesuatu yang semata-mata menakutkan. Padahal kata "begu" dalam pemakaian lama bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Orang-orang Kristen Karo membuat kata begu semakin menakutkan. Padahal pendeta missionaris J.H. Neuman sendiri, yang menulis Alkitab berbahasa Karo, menggunakan kata begu sebagai sesuatu yang positip. Termasuk dalam membuat Doa Bapa Kami berbahasa Karo para umat dianjurkan menyebutkan Yesus "nusur ku begu" setelah dikubur.

Sama halnya dengan kata preman. Hampir semua media massa di Indonesia sekarang ini memakai kata preman sebagai sesuatu yang harus dienyahkan dari permukaan bumi. Terutama sekali dalam kaitannya dengan issu penggunaan kelompok-kelompok preman oleh
golongan tertentu untuk mengancam masyarakat. Sehingga preman menjadi sama artinya dengan setan. Tak ada satu jua yangmempertanyakan siapa dan apa sebenarnya preman. Seolah-olah sudah jelas sekali apa yang dimaksud dengan preman. Untuk apa dibongkar-bongkar kalau kita tokh saling mengerti apa maksudnya meskipun dia telah berubah dari arti semula? Saya khawatir bahwa orang-orang Indonesia pikir saling mengerti dengan
kata preman, padahal kenyataannya tidak. Bila media massa Indonesia menulis bahwa kelompok tertentu sebagai kelompok preman, secara terselubung dia menuntut agar aparat hukum menangkap orang-orang yang tergabung di dalam kelompok itu sebagai pelanggar hukum.

Padahal tak ada satu bagianpun dari hukum kita yang bisa menjaring preman sebagai pelanggar hukum. Inikah yang kita maksud saling mengerti? Kalau tidak menemukan preman dalam khasanah bahasa hukum, di mana kita bisa menemukannya? Coba saya bandingkan dulu dengan kata jelek. Juga tidak ada satu bagianpun dari hukum kita yang bisa
menjaring orang berwajah jelek, berwatak jelek maupun berperangai jelek. Menuduh orang berperangai jelek adalah normatif yang bermaksud menyudutkan atau merendahkan nilai seseorang di mata masyarakat. Polisi memang berhak menangkap orang berwajah jelek bila
ada indikasi bahwa dia mempergunakan wajahnya yang jelek untuk mengganggu ketertiban umum.

Apa pula yang dimaksud dengan ketertiban umum? Apa itu tertib, apa itu umum? Kalau banyak orang mengeluh akibat kelakuan seseorang, maka orang itu dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Berapa orang yang mengeluh baru kita bisa katakan telah mengganggu ketertiban umum? Jawaban dari semua pertanyaan ini ada pada tangan penguasa resmi. Kalau kita bukan penguasa resmi, tidak ada hak hukum kita menentukan seseorang telah mengganggu ketertiban umum. Demikian halnya dengan arti baru dari kata preman. Sangat normatif. Media massa sangat gencar memakai kata preman untuk
menyudutkan orang-orang yang tidak disenanginya. Apanya dari orang itu yang dia tidak senangi. Kepremanannya atau tindakannya mencabut nyawa orang lain? Kalau tindakannya mencabut nyawa orang lain, jangan sebut dia preman, sebut saja pembunuh. Kalau memang
kepremanannya yang dia tidak sukai, maka si wartawan pastilah salah seorang dari antek-antek penjajah atau keturunannya.

Mari kita telusuri asal-usul kata preman. Preman adalah pengucapan Indonesia atas kata Belanda "vrijman" (baca freiman) yang arti harafiahnya orang bebas. Pada masa penjajahan, orang-orang Belanda menggolongkan kaum pribumi tertentu sebagai vrijman. Meskipun arti kata itu sendiri tidak mesti negatif, para penjajah dan orang-orang yang berada di pihak mereka menggunakan kata vrijman dalam arti negatif. Siapa yang mereka golongkan sebagai vrijman?

Jawabannya, orang-orang yang sama sekali tidak bisa mereka kuasai. Oleh karena itu para pejuang kemerdekaan kita menggunakan kata yangsama (dengan ucapan preman) sebagai kata yang berarti positif. Di pihak para pejuang, mendapat julukan preman adalah suatu kebanggaan. Saya harap sekarang kita sampai pada satu titik saling mengerti bahwa kata preman bisa berarti negatif tapi juga bisa berarti positif. Dari uraian singkat di atas kita juga bisa melihat bahwa orang-orang yang mengartikan preman dalam arti negatif adalah
orang-orang yang tidak menyukai kebebasan/ kemerdekaan. Siapa orang- orang ini? Jawabnya adalah orang-orang yang diuntungkan oleh adanya keadaan tertib dan langgeng.
Apakah sebagian besar rakyat Indonesia diuntungkan oleh keadaan tertib dan langgeng?

Masa Orde Baru bisa dikatakan jamannya lumayan tertib dan langgeng, secara fisik tentunya. Soalnya orang bertato saja langsung disikat Petrus. Di lain pihak, para preman yang punya pengaruh besar diajak kerjasama oleh penguasa sehingga mereka sebenarnya bukan preman lagi, melainkan anjing penguasa. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tertib dan langgeng? Sejak masa penjajahan hingga sekarang ini, dalam pelaksanaannya, keadaan
tertib dan langgeng ditinjau hanya sejauh mata memandang dengan mengambil posisi dari orang-orang yang diuntungkan oleh keadaan itu. Bagaimana dengan orang-orang yang dirugikan oleh keadaan tersebut. Tak dipedulikan. Soalnya mereka tidak bisa ngomong. Kalau ngomong sikat saja. Atau tuduh saja dia PKI agar anggota masyarakat lain yang pernah dirugikan PKI mengganyangnya.

Sekarang kita tiba pada apa yang hendak saya ungkapkan melalui tulisan sebelumnya, yang sebenarnya agak sulit diungkapkan tanpa adanya reaksi dari impalku Purba ras Sitepu mergana. Kita sering menggunakan istilah-istilah negatif untuk menuding orang- orang tertentu tanpa menyadari bahwa istilah-istilah itu berasal dari orang-orang yang menikmati keadaan sedangkan orang-orang tertuding adalah sebenarnya korban keadaan. Apa akibatnya kalau
rakyat kalangan bawah ikut menjuluki orang-orang yang menakut-nakuti kalangan bawah dengan istilah preman? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, mari kita catat terlebih dahulu dua hal penting: 1. Sebenarnya tidak ada kriteria jelas dan syah siapa saja yang bisa
digolongkan sebagai preman, 2. seorang pembunuh adalah pembunuh dan seorang pemaksa orang lain adalah pemaksa orang lain bukan mesti dijuluki preman.

Baik. Sekarang jawaban atas pertanyaan tadi. Atas nama tuntutan rakyat, para penguasa akan menyikat habis segala bentuk premanisme. Sasaran mereka yang pertama adalah orang-orang yang mengganggu ketentraman penguasa dan orang-orang kaya, bukan
orang-orang yang mengganggu ketentraman rakyat jelata. Atas nama tuntutan rakyat juga mereka akan menyikat pengangguran yang ngumpul-ngumpul di persimpangan jalan dengan rambut mereka yang gondrong urakan dan dengan pakaian yang tambal sulam (karena tidak punya uang). Padahal alasan sebenarnya adalah karena orang-orang kaya merasa tidak aman melewati persimpangan jalan itu. Sekali lagi, "merasa" tidak aman. Orang-orang kayalah yang tidak tahan melihat orang-orang jelata, bukan orang-orang jelata itu sendiri. Impalku Goldian Purba mencoba menjelaskan bahwa: "...kepremanan bukan satu-satunya modal yang diandalkan sejumlah tokoh Karo yang disebutkan dalam analisis ini. Sikap yang mereka perlihatkan itu bukan wujud kepremanan tapi lebih pada cara menyampaikan sesuai yang dianggap lebih frontal atau tegas. Mereka tak mau menggunakan kalimat bersayap, atau bermulut manis sekadar agar disenangi lawan bicara atau atasannya ..."

Di sini kita berbeda pendapat Mpal. Sifat-sifat inilah yang bagi saya mewujudkan kepremanan. Hanya saja, kata preman yang saya pergunakan bukanlah kata preman yang dipergunakan oleh para penjajah dan antek-anteknya, melainkan apa yang dipakai oleh para pejuang kemerdekaan. Kam mempertanyakan "... apakah [kata preman] hanya [merujuk kepada] ...
orang[-orang] urakan, tempramental, dan berani adu fisik? ..." Tidak. Tapi apa salahnya menjadi orang urakan, tempramental dan berani adu fisik? Di sinilah letak persoalannya. Kita ikut berbicara seperti priyayi padahal para priyayi sendiri memandang kita abangan. Inilah taktik penjajah memecahbelah kaum jelata. Rusa berlagak harimau terhadap rusa-rusa lainnya tanpa menyadari bahwa kalau harimau sesungguhnya datang dia tidak lain adalah rusa bagi si harimau sesungguhnya.

Impalku Benyamin Sitepu sudah sangat dekat dengan pesan terselubung saya. Dia menceriterakan bahwa "... [pada masa penjajahan Jepang nini bulangku] mencetak uang palsu ... [Karena itu nini bulang dicap sebagai] seorang avonturir, smart & vrijman.
Dibalik sisi negative yang saya lihat, sebenarnya point-point tersebut di atas dapat dilihat sebagai satu hal [yang] pantas dibanggakan ..." Saya ikut bangga sekali mendengar hal ikhwal nini bulangta e Mpal. Tapi mengapa kam merasa perlu mengatakan "... di balik sisi negative yang saya lihat ..."? Itu negatif hanya bagi si penjajah yang menginginkan ketertiban dan kelanggengan untuk mempertahankan kekuasaannya. Apakah kam juga telah menjadi salah satu diantara rusa yang menganggap diri harimau? Itulah program penjajah Belanda memberi kesempatan kepada anak-anak para bangsawan pribumi mengecap pendidikan sekolahan; agar mereka merasa diri harimau terhadap sesama rusa.

Demikian juga program pendidikan di masa Orde Baru, mencetak sarjana-sarjana yang berpikir seperti penguasa meskipun mereka sebenarnya tidak pernah bisa masuk ke golongan penguasa. Mungkin impalku Purba dan Sitepu merasa bahwa aku anak Orde Lama. Tidak Mpal. Aku ini lahir di tahun 1963. Pergi ke sekolah di bawah program Orde Baru. Aku terlahir di dekat Titi Rante Padang Bulan. Sepanjang masa sekolah/ kuliah hingga bertugas sebagai dosen di USU aku tetap Preman Titi Rante Mpal. Tahun 1991 sampai 1994 aku menyelesaikan studi program master di Leiden. Tahun 1996/7 aku bekerja sebagai dosen tamu di Jerman (antropologi Indonesia), 1998 dosen tamu di Denmark (antropologi Batak), dan 2000-1 guru bahasa dan sastra modern Indonesia di International School of Rijnlaan Lyceum (Belanda), tingkat SMTA. Sampai sekarang masih pegawai negeri.

Tapi aku tak pernah berpikir sebagai harimau kalau harimau-harimau sesungguhnya tokh menerkamku juga sebagai seekor rusa. Aku tetap bangga sebagai Preman Titi Rante, atau lebih keren lagi Preman Pasar Satu. Kam mungkin pikir pula bahwa aku ini orang PDI. Tidak
Mpal. Aku ini vrijman. Di tiga negara tempatku pernah kerja, teman-teman sejawat menyebutku Harimau Liar Karo. Mereka sudah tahu bahwa Karo bukan Batak, karena kukatakan "siapa yang mengatakan aku orang Batak erdeteng atem takal me". Mereka tertawa. Maaf. Kalimat-kalimat terakhir sudah dipengaruhi tuak Belanda, alias anggur merah. Mejuah-juah.

Leiderdorp (The Netherlands)
14 Nopember 2002

No comments: