Sunday, December 17, 2006

PIKIRAN JALANG

Tiba-tiba mataku terpacak pada sebuah buku di perpustakaanku. Kuingat di buku itu ada perkataan: "Sering kita merasa bahwa kita sudah menjadi manusia modern. Padahal modernisasi hanyalah mimpi. Aku rindu sebuah organisasi yang menyadari dirinya serta anggota-anggotanya tak lain tak bukan adalah orang-orang tradisional."(jg)

Saya mencoba menafsirkan tulisan diatas dengan "perasaanku" sendiri. Tetapi, sepertinya tidak ada yang mengena selain satu hal yang pernah saya tahu, yaitu Essay-nya Goenawan
Mohammad yang berjudul " Seks, Sastra dan Kita".

Yang menurut "perasaanku" sama dengan sebuah kisah, tentang seorang pria Indonesia yang berkunjung atas undangan pemerintah di Amerika, sebuah negeri yang dimitoskan denga segala macam ke-modern-an, kemajuan dan identik dengan kebebasan pergaulan dan percabulan.

Suatu ketika, diwaktu luangnya pria ini ditawarkan untuk mengunjungi tempat yang mana saja dia suka dan panitia dengan sukarela akan jadi guide-nya. Dipilihnya tempat kunjungan perdananya, sebuah nite club yang menyajikan striptease dan kehidupan malam yang semarak dan meriah. Ketika dia keluar dari club malam itu, dia mengomel dan mengumpat, sungguh mengerikan dan menjijikkan kehidupan di Amerika, tidak ada lagi kesopanan dan rasa malu.
Padahal, disana tidak kurang tempat atau sarana yang menyajikan pertunjukan yang bernilai religius tinggi, mengandung nilai-nilai filosofi kehidupan, dan panggung-panggung yang bernilai seni tinggi. Ironisnya, esok malam dia keluar lagi mencari tempat sejenis dan akhir kunjungannya selalu disertai dengan umpatan dan makian.
******

Dimana kita berdiri? Ketika budaya kita, kita anggap lebih tinggi dari budaya bangsa lain? Selama ini, mitos bahwa budaya Timur itu sopan, religius, sensual dan berperasaan halus, sedangkan budaya barat cabul dan penuh kekerasan. Akhir-akhir ini semakin banyak laporan dan tulisan tentang adanya hubungan bebas diluar nikah di Indonesia. Yang menjadi pertanyaan, benarkah sebelum ini, tidak banyak orang yang melakukan hubungan seks bebas diluar nikah, atau karena pengaruh mitos budaya Timur yang sopan, sehingga kita tidak merasa pantas mengeksposnya?

Menurut nalar saya, disetiap bangsa (suku) pasti akan ada orang yang berbudi luhur dan orang yang jahat. Tinggal bagaimana kita memahami dan menilainya.
Ini renungan pribadi saya. Semoga Tuhan memberi pencerahan dihatiku.
Takut kolestrol? Enda cibet, kadih!
Batukarang Memproduksi Cibet


Cibet adalah makanan khas Karo yang mungkin agak aneh bagi orang bukan Karo. Cibet merupakan larva yang akan tumbuh menjadi capung. Cibet senang bermain di sawah dan rawa-rawa. Di sana mereka tumbuh menjadi capung.

Di beberapa daerah Karo yang penghasilan utamanya bertanam padi sawah, sang cibet bagaikan sahabat di kala suka dan duka. Cibet kaya protein dan paling enak digulai seperti nurung ikerahi. Tak heran, sesekali petani juga doyan mengkonsumsi cibet. Kalau sekedar dimakan sendiri, tidak sulit memperolehnya.

Tapi... Tunggu dulu. Itu dulu. Beberapa dasa warsa silam. Sekarang ini, bukan main sulitnya mendapatkan cibet. Jumlahnya menurun drastis sejak gencarnya pestisida campur tangan di sawah. Bukan berarti cibet tidak ada lagi, tetapi perlu waktu dan tenaga ekstra mendapatkannya.

Ada segelintir orang yang terus berusaha agar cibet tetap masuk dalam daftar menu orang Karo. Mereka mencari, menggulainya dan, kemudian, mereka jual. Pencarian cibet biasanya dilakukan para keluarga terdekat, terutama anak-anak. Cibet dimasak kerah dan kemudian siap dikonsumsi.

Pemasaran cibet masih tradisional. Mereka bawa ke pasar dengan kukusan aluminium. Gelas kecil sebagai takaran. Satu gelas berharga 5 ribu rupiah. Ini tak sulit ditemui pada wari tiga.

Bagaimana dengan hari-hari biasa? Nah... Ini salah satu terobosan pasar. Mereka menjajakan dagangannya dari jambur ke jambur. Tamu-tamu di jambur mereka kelilingi satu per satu. Banyak tamu jambur membelinya karena alasan kesehatan. Terutama yang punya masalah dengan kolesterol, darah tinggi dan penyakit makmur lainnya.

“Kari daging kang bengkaunta. Pangenlah cibet enda sipan. La lit lemakna,” begitu sebagian pembeli bertukas.

Kebetulanaku bertemu seorang penjaja cibet. Dialah yang pertama kali menjajakan cibet dari jambur ke jambur. Kini, banyak orang mengikuti jejaknya.

“Adi kerja si maté-maté, la aku pang erbinaga, nak, la kuakap cocok. Kalak ngandung, kita cari makan ka jé,” ujarnya saat ditanya mengapa dia muncul hanya pada acara perkawinan.

“Aku labo Batukarang nari, kadih. Ula kari akapndu aku anak jah,” sanggahnya aku menanyakan sejak kapan Batukarang memproduksi cibet.

“Tapi, jah nari cibetndu é,” timpalku

“Jah rumahku. Jah anakta. Ban anak jah impalta, ah. Aku anak Jahé-jahé nge. Kempak Bukit Lawang ah. É kap maka marénda usur aku tokohi kalak jah. Anak Jahé-jahé la ergumbar, nina. Ih....mis nge kupantik,” urainya menggebu.

“Uga bandu mantiksa?”

“Iyak...pokokna enggo kutuduhken man anak kuta maka aku rajin ras beluh. Enggo kutukur rumahku. Kutukur sabahku sada panggung. Enggo ka kutama lau ku rumah. Lit ka kuban gundari kamar mandiku,” jawabnya bangga.

Usaha sederhana ini ternyata membuka lapangan kerja bagi orang lain. Dia mengerahkan anak-anak remaja di kampung mencari cibet. Untuk segelas kecil cibet dia bayar seribu rupiah. “Tiap wari lit sinaruhken cibet ku rumah,” ungkapnya.

Kebetulan, cibet masakan beru Tarigan ini sudah lumayan terkenal. Suatu ketika dalam acara perayaan Paskah Moria yang diadakan di Jambur Halilintar Medan, dihadiri ribuan Moria, dia diundang panitia membawa cibetnya. Tidak tanggung-tanggung, dia bawa 5 kukusan sekaligus. “Licin tandas,” katanya.

Tidak selalu cibetnya habis. Tetapi ini tidak mengurangi semangatnya. “Bagé kin adi erbinaga. Maun keri, maun lang. Émaka kuban kang cinaku ras kusuan pagé, gelah ula putus uang masuk é,” katanya berfalsafah.

Kerja kerasnya tak sia-sia. Satu rumah sederhana dan sepetak sawah dia miliki. Bangga dia cerita tentang anak-anaknya. “Telu anakku, teluna sekolah. Kerina juara. Merhat kal aku seh pagi sekolahna kerina. Sekalak anakku gundari sekolah i Magelang, i SMA Taruna,” tuturnya bangga.

Ibu yang mengaku cepat yatim piatu ini bilang tidak pernah malu berdagang cibet dari jambur ke jambur. Selain mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, dia sudah beri warna baru dalam khasanah masakan Karo. Inikah pelestarian tradisi yang sesungguhnya? Atau inikah yang disebut berhanyut bersama kekinian?.



 
Semangat Otonomi
Editorial Sora Sirulo November

Dalam “Pendahuluan” buku berjudul Otonomi Daerah (Yayasan Harkat Bangsa, 2003), Indra J Pilliang mengutip tulisan Mohammad Hatta mengenai Otonomi Daerah, sbb.: “... Otonomisasi tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan berkembangnya prakarsa sendiri maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan terutama memperbaiki nasibnya sendiri ..” Pilliang tidak sebutkan kutipan ini sebenarnya berasal dari tulisan Hatta yang berjudul “Demokrasi dan Autonomi” di majalah Keng Po, Jakarta:27 April 1957: I-II.

Hatta menekankan soal ‘Prakarsa Sendiri’ untuk Demokrasi. Di sinilah letak salah pengertian antara semangat Otonomi Daerah dengan alasan perlunya Pemekaran Daerah akhir-akhir ini. Pembentukan Pemko Berastagi, misalnya, didengungkan untuk meningkatkan perekonomian warga setempat. Tidak aneh, bila tantangan datang dari logika peredaran uang yang menganggap Pemko Berastagi merugikan bagian lain Kab Karo karena Berastagi adalah pemasuk terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kab. Karo.

Semangat Otonomi Daerah yang dibakar oleh Hatta dan kemudian igestungi Gus Dus saat menjadi presiden, soal utamanya bukanlah ekonomi, tapi Kemandirian. Otonomi Daerah adalah pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat federalisme yang, dengan kata lain, “lain padang lain belalangnya”. Jadi, persoalannya tidak terbatas pada soal uang.

Tugas daerah otonom tidak lagi seragam, tergantung masing-masing daerah. Tidak ada lagi istilah Daerah Tingkat (Dati) I atau II. Setiap daerah, propinsi atau kabupaten, menjadi dirinya sendiri tanpa disetir dari atas. Desa bukan lagi unit administrasi pemerintah tingkat terendah, bukan lagi perpanjangan tangan pemerintah. Orde Baru mengadakan intervensi terhadap masyarakat adat menyebabkan kehancuran kebijaksanaan setempat, pengetahuan, sumber daya, dan kemampuan lokal. Masyarakat adat menjadi korban pengusaha hutan, industri, perumahan, dan pariwisata.

Pemko Berastagi sebaiknya mengobarkan kembali Semangat Otonomi Daerah dan tidak terlalu terpaku hanya pada soal duit.