Friday, June 06, 2008

ANTARA PREMAN DAN SARJANA KARO (3)

SUDUT PANDANG DARI SEBUAH KENYATAAN
Oleh Juara Rimantha Ginting

Ada suatu kenyataan, yang kita sama-sama rasakan, kita tahu itu, tapi kita mengalami kesulitan untuk membuat suatu pernyataan bersama atas kenyataan itu. Ketika saya melontarkan istilah preman dalam arti positip, mencuat gapaian-gapaian rasa galau dan risih akan istilah tersebut. Beberapa tanggapan atas dua tulisan saya sebelumnya menghadapkan saya pada suatu kenyataan baru yang saya tidak duga sebelumnya. Kata preman rupanya sudah mengental satu dengan kekejaman dan kengerian. Kelihatannya semua pihak punya
pandangan sama bahwa preman itu adalah musuh seluruh umat manusia yang bukan preman. Inilah kenyataan baru yang saya tidak duga sebelumnya. Membuat saya bertanya diri apakah istilah lama "berpakaian preman" juga sudah berubah artinya menjadi "berpakaian penjahat"?

Kenyataan baru itu saya rasakan ketika membaca judul email kiriman impalku Harmadi Sinuhaji "Yang Ini Ceritera PREMAN Betulan, Lho Pak!!!" Aku tersentak, karena bagiku apa yang dia ceriterakan sama sekali bukan tentang preman melainkan tentang perampok. Apakah istilah preman telah menjadi suatu "istilah mencakup" (encompassing
term) untuk segala bentuk kejahatan seperti perampokan, pengompasan, pemerkosaan, pembunuhan dan pencurian? Kalau memang begitu adanya, kita tidak perlu lagi memakai istilah perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri. Cukup dengan kata preman saja (Baru beberapa tahun saya tidak berada di Indonesia ternyata saya telah
ketinggalan jauh dalam berbahasa Indonesia).

Saya minta maaf atas kekolotanku berbahasa Indonesia yang membuat sebagian pembaca resah, seperti halnya impalku Goldian Purba dan sembuyakku Amin Ginting (Sembuyak nge kita entah ersenina, Ginting apai kin Gintingndu e? Aku Ginting Munte -- Si Pitu Kuta Ajinembah la Tengging).

Tapi ada juga baiknya mengambil jarak dari perubahan bahasa yang cepat, agar kita tetap dapat berpegang pada logika dasar tanpa termakan oleh anggapan umum yang membenamkan kita jauh dari logika dasar. Anggapan umum itu sendiri bisa direkayasa oleh orang-orang tertentu melalui media massa untuk kepentinggan golongan tertentu. Persilahkan saya membuat beberapa contoh untuk menjelaskan apa yang saya maksud dengan logika dasar.

Penggali kuburan adalah salah seorang yang senang bila ada orang mati, meskipun dia akan kena "tayap-tayap" kalau dia mencetuskannya. Siapa yang diuntungkan oleh keadaan tidak aman di Indonesia? Tentu saja orang yang makan dari pekerjaan menjaga keamanan. Logika
dasarnya adalah bahwa si penjaga keamananlah yang membutuhkan keadaan tidak aman. Seperti keamanan pajak pagi yang dituturkan oleh saudara Amin Ginting; si pencuri adalah pengaman dan si pengaman adalah pencuri. Mengapa kata-kata perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri diganti dengan kata preman? Logika dasarnya adalah agar pembasmian premanisme mendapat dukungan rakyat kebanyakan, karena rakyat kebanyakan takut pada perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri. Rakyat kebanyakan yang latah tidak menyadari adanya pergeseran dari perang melawan kejahatan ke perang melawan premanisme. Karena kejahatan dan premanisme telah dianggap
sama. Dianggap sama bukan berarti memang betul sama. Siapa yang diuntungkan oleh anggapan umum bahwa kejahatan sama dengan premanisme? Jelas sekali orang-orang yang ingin membasmi premanisme dari permukaan bumi dengan dukungan rakyat.

Apakah orang-orang ini juga punya niat untuk membasmi kejahatan (?), masih merupakan tanda tanya besar. Yang penting untuk mereka adalah menghilangkan premanisme. Bahayanya, gambaran tentang premanisme tidak terbatas pada kejahatan-kejahatan melanggar hukum resmi. Penguasa mendapat wewenang dari rakyat untuk mengganyang "segala" bentuk premanisme meskipun si terganyang bisa jadi belum pernah sekalipun melakukan tindakan yang bisa didefenisikan sebagai kejahatan secara hukum resmi. Tuntutan rakyat kan pengganyangan premanisme, bukan kejahatan? Jadi, dari masalah hukum ke politik.

Di sinilah kaum intelektual kita perlu berpikir kritis. Jangan mau ikut bergeser, apalagi tanpa sadar, dari perang melawan kejahatan ke perang melawan premanisme. Banyak orang yang dianggap preman bukan karena mereka melakukan kejahatan. Kam perlu renungkan ini. Di pihak lain, banyak pelaku kejahatan yang sama sekali tidak dianggap preman. Sebut saja sebagai contoh, ayah yang memperkosa putri kandung sendiri atau pertua yang mencuri uang kolekte. Mengalihkan masalah kejahatan ke masalah premanisme hanyalah untuk memperingan tanggung jawab aparat keamanan, bukan untuk mencapai sasaran yang sebenarnya. Gejala ini juga memberi kesempatan kepada golongan-golongan tertentu untuk membasmi musuh politiknya, terutama partai-partai politik yang mendapat dukungan terbesar dari orang-orang yang tidak perlu takut gajinya tidak dinaikan alias pengangguran bin
preman.

Impalku Benyamin Sitepu tampaknya sangat bisa mengikuti revolusi konsep (bukan fisik) yang aku lemparkan. Dalam menelusuri kekuatan politik Karo aku mengikuti jalur destruktif bukan konstruktif. Destruktif karena aku membongkar (bukan membangun) apa yang telah
menjadi bangunan kokoh anggapan umum. "Preman adalah penjahat. Titik." Inilah bangunan kokoh pemikiran umum di Indonesia yang aku mau bongkar. Masih banyak lagi bangunan-bangunan kokoh seperti ini yang perlu kita runtuhkan karena sebenarnya merugikan kita sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh saudara Amin Ginting. Kepercayaan tradisional Karo yang masih dekat dengan animisme dan dinamisme. Kata-kata "... masih dekat dengan ..." mengisyaratkan bahwa saudara Ginting adalah, sadar atau tidak sadar, penganut evolusionisme. Tidak ada salahnya menganut teori evolusionisme. Tapi teori evolusionisme bukan satu-satunya teori yang dipergunakan manusia untuk menjelaskan keanekawarnaan kehidupan beragama atau berkepercayaan (mungkin kam tidak menerima Pemena atau Perbegu sebagai agama). Apakah kita mengantongi begitu saja teori-teori lain? Apakah kam akan membasmi saya kalau saya memakai teori lain untuk menjelaskan kepercayaan tradisional Karo?

Tahun 1966, DGI melakukan kampanye besar-besaran di Kabanjahe untuk memanggil orang-orang Karo berlindung di bawah gereja untuk terhindar dari tuduhan atheist/ komunis. Tahun 1967, berdiri Balai Pustaka Adat Merga Si Lima yang menyerukan bahwa Pemena bukan
atheist/ komunis dan bahkan setara dengan agama-agama dunia lainnya. Saat itu Dr. Euwe (Belanda) baru saja memenangkan kejuaraan catur dunia, mengingatkan orang-orang Karo akan pertandingan antara Dr. Euwe dengan Narsar (Pa Kantur) Purba yang berlangsung alot dan remis di Amsterdam beberapa tahun sebelumnya. Narsar Purba adalah tokoh spiritual gerakan Perodak-odak dengan Pa Raja Bale Ginting (Murba) sebagai pemimpinnya. Secara berame-rame orang-orang Karo meninggalkan gereja dan kembali ke Pemena. Pada sinode 1969, Anggapen Ginting Suka terpilih menjadi ketua moderamen GBKP. Dia mengilhami strategi baru; dari anti tradisi lama menjadi teman tradisi lama. Sejak itu anggota GBKP meningkat drastis. Pada tahun 1972, Partai Murba dibekukan. Adam Malik naik haji dan pindah ke GOLKAR. Pa Raja Bale mengikuti jejaknya, masuk Islam dan pindah ke GOLKAR. Djamin Gintings berhasil mengubah total haluan politik Karo dari sosialis-nasionalis ke GOLKAR (Djamin Gintings adalah pendiri GAKARI, organisasi inti GOLKAR pada permulaan Orde Baru). Terjadi frustrasi berat di kalangan Pemena. Bupati Karo Siregar dan Partai
Murba tidak dapat lagi melindungi mereka secara politik.

Saat itu pemburuan bekas-bekas anggota PKI golongan C mulai lagi dilancarkan. Suatu hari datanglah direktur perguruan Khalsa Medan (seorang Sikh) ke Berastagi, didampingi oleh Lamlo (Tamil Medan) dan Brahma Putro (K. S. Brahmana) (kepala SMA Khalsa). Mereka berbicara dengan pengurus-pengurus Balai Pustaka Adat Merga Si Lima di Hotel Asia hingga mencapai kesepakatan bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu. Terbentuklah Persatuan Hindu Karo dengan kantor pusat di Berastagi yang kemudian pindah pada tahun 1985 ke warung perkolong-kolong Malem Pagi Ginting di Kabanjahe. Tahun 1985 diresmikan cabang Parisada Hindu Dharma Karo bersamaan dengan peresmian Pure Bali (gaya arsitektur Bekasih) di Desa Tanjung Kecamatan Kutabuluh (Kabupaten Karo). Dengan 50.000 anggota resmi ditambah 50.000 simpatisan. Jumlah anggota Parisada Hindu Dharma terbesar di Indonesia di luar Bali saat itu.

Apa sebenarnya yang mau saya tunjukan dengan kisah singkat di atas? Kam lihat bagaimana pikiran tentang kehidupan beragama/spiritual berbeda-beda? Perbedaan pandangan tentang kehidupan beragama bercampurbaur dengan keadaan politik saat itu. Sehingga terjadi suatu "game" dengan mana konsep yang dipakai sebelumnya diubah untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya saja, dari rasa sinis terhadap gendang dan tudung berubah menjadi senyuman manis terhadap perumah begu dan perumah jenujung. Sama halnya dengan peralihan dari ide bahwa Pemena/ Perbegu setara dengan agama-agama dunia lainnya ke ide bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu Dharma. Karena itu saya tetap bersikap hati-hati atas perubahan arti kata preman. Game apa pula yang sedang kita hadapi ini? Itulah pesansaya yang paling penting dari dua tulisan sebelumnya. Saya mencoba menjamah kekuatan politik terbesar dari Karo untuk bersaing di tingkat nasional.

Bukan untuk menyelesaikan persoalan nasional atau kemanusian secara umum, apalagi untuk mempesoalkan apakah kata roh kudus itu lebih baik dengan begu kudus (kata Indonesia roh berasal dari bahasa Timur Tengah, Arab dan Ibrani, ruah). Begitu juga dengan
perbedaan antara spirit dengan soul. Apakah pembedaan antara spirit dengan soul berlaku untuk semua kebudayaan dunia atau hanya untuk kebudayaan/ religi tertentu? Sebagian orang Belanda membedakan kata geest (terjemahan Inggris, spirit) dengan ziel (soul), tapi sebagian lainnya menganggapnya sama saja. Mana yang benar? Bagaimana pula meletakan kata ghost (mirip dengan kata Belanda geest, tapi terjemahan Belandanya spoke) yang di bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan hantu. Apakah begu tak lain tak bukan adalah hantu atau ghost? Kata Inggris mana yang akan kita pakai dalam menterjemahkan semangat, misalnya dalam semangat bermain bola kaki? (Kalau tidak salah spirit).

Bagaimana kita menterjemahkan pengeri daging, daulat daging, jenujung, jambak-jambak, teman erdalen dan peninggeren? Apa yang biasanya dilakukan oleh banyak orang adalah
mengacu pada tujuan, bukan objektivitas atau nilai empirisnya. Dengan kata lain, menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan tradisi Karo sudah sebelumnya tergantung pada tujuan tertentu yang mbuyakku Amin Ginting mungkin belum sempat memikirkannya. Tujuannya adalah menyudutkan dan meredam pertumbuhan agama-agama yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah pusat, apalagi itu yang kelihatannya sangat dekat dengan ajaran komunisme.

Siapa teman CIA dalam memerangi komunisme di dunia? Islam. Siapa yang membangun dan membiayai IAIN? CIA. Siapa musuh CIA dan FBI sekarang ini? Islam. Sudahkah kita baca game ini? Siapa sebenarnya yang benar-benar takut terhadap premanisme? Logika dasar,
orang-orang yang ingin semua manusia yang hidup di Indonesia berada dalam pengaturannya. Mengapa pemerintah merasa perlu mengeluarkan orang-orang Kubu dari hutan-hutan untuk tinggal di pemukiman miskin? Supaya bisa dikontrol. Mereka kan bukan penjahat dan bukan pula penebang hutan. Bukan itu soalnya. Soalnya adalah bahwa setiap makhluk hidup harus berada di bawah pengawasan mata sang raja yang dibayang-bayangi oleh ketakutan akan adanya kudeta baru. Di sinilah letak permasalahnnya mengapa premanisme perlu dijadikan sebagai momok masyarakat, meskipun momok yang sebenarnya dibiarkan
berkeliaran secara leluasa.

Kalau masalahnya perampokan, katakanlah tangkap perampok. Jangan katakan tangkap preman. Nanti saya tidak berani lagi mengaku Preman Titi Rante. Mejuah-juah.

*ditulis pada 15 November 2002

No comments: