Friday, June 06, 2008

ANTARA PREMAN DAN SARJANA

Dalam Menelusuri Kekuatan Politik Karo
Oleh Juara Rimantha Ginting


Pada sebuah kampanye GOLKAR di masa Orde Baru, seorang menteri mengatakan bahwa satu persen dari orang Karo adalah sarjana.Persentase tertinggi diantara suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Hal ini mendorong sejarawan terkenal dari Australia, Anthony Reid, untuk melakukan penelitian khusus dengan pertanyaan: Mengapa Karo tiba-tiba beralih dari suku yang anti terhadap segala hal berasal dari Barat ke suku yang memburu kehidupan Barat. Peristiwa berdarah di tahun 1965 tampaknya menjadi titik puncak peralihan ini.

Sebelumnya Karo berusaha tetap bertahan dengan tradisinya. Sesudah peristiwa itu, Karo berusaha secepat mungkin ke luar dari tradisinya agar tidak dicap primitif. Saat itu, keprimitifan dianggap sama dengan atheis, dan atheis diasosiasikan dengan komunis.
Ketakutan dituduh komunis kiranya mendorong Karo lebih menerima pengaruh Barat. Pendidikan modern (sekolahan) merupakan salah satu lambang terlepasnya seseorang dari dunia primitif. Sayangnya, Kepres 1958 yang menyatakan Karo sebagai suku terasing,
karena sebagian besar belum beragama, sampai sekarang belum pernah dicabut meskipun satu persen orang Karo adalah sarjana dan sebagian besar telah memeluk agama Protestan, Katolik, Islam dan Hindu.

Apa yang tersisa dari sejarah modern Karo? Cepatnya modernisasi di kalangan Karo membuat orang-orang Karo sendiri terlupa siapa Karo sebelum peristiwa 1965. Pemerintah jajahan Belanda mencap orang- orang Karo sebagai bandit-bandit liar yang tidak bisa diajak
kompromi karena mereka tidak pernah berhenti mengganggu kapital Belanda. Pemerintah Orde Lama melihat Karo sebagai salah satu basis kekuatan politiknya baik dalam melawan kekuatan asing maupun untuk kemantapan posisi Soekarno sebagai pemimpin bangsa. Orang-orang Karo sendiri melihat Karo sebagai vrijman (orang bebas); tak bisa dikuasai oleh siapapun dan bisa menentukan nasibnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Cara pandang seperti ini paling tidak disukai oleh Orde Baru. Orde Baru adalah orde ketertiban. Rakyat harus tertib dan manut pada pemerintah.

Sebagian orang Karo dapat menjadi orang tertib di masa Orde Baru, tapi sebagian lainnya meneruskan jiwa vrijman (preman). Jiwa preman yang sama artinya dengan pahlawan di masa penjajahan dan Orde Lama kembali berarti bandit/ penjahat di Orde Baru. Preman Karo menjadi pahlawan lagi di masa Reformasi. Sebagian besar orang Karo yang menjadi pengurus PDI-P adalah preman. Merekalah yang mencuatkan Karo kembali sebagai salah satu peta politik penting di tingkat nasional.

Di mana kedudukan sarjana Karo dalam perjalanan sejarah modern Karo? Tak lebih dari pada menjadi orang tertib dan manut. Tidak ada diantara mereka yang mencuat menjadi pemimpin tingkat nasional. Mereka tidak membuat sejarah apa-apa. Almarhun Prof.Dr. Masri
Singarimbun (antropolog) adalah satu-satunya sarjana Karo yang disegani di tingkat nasional (dan juga di manca negara).

Tapi, jangan lupa, rekan-rekannya di masa muda mengenal Masri Singarimbun sebagai seorang seniman dan sedikit preman. Karena dikejar-kejar tentara Jepang, dia mengganti namanya dari Matah Ari (bukan Matahari) Singarimbun menjadi Masri (singkatan dari Matah Ari Singarimbun). Tampaknya preman Karo memainkan peran lebih penting dari pada kaum berpendidikan Karo dalam perjalanan sejarah modern Karo di tingkat nasional. Tapi perlu diingat bahwa dalam masa globalisasi sekarang ini jiwa preman tok tanpa berisi ilmu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Sepanjang para preman kita yang bergerak di kancah politik nasional hanya mengandalkan kebringasan dan keberaniannya tanpa mengisi diri dengan ilmu pengetahuan, Karo tetap belum berhasil mencuat kembali seperti di masa penjajahan atau Orde Lama.

Sebaliknya, sepanjang kaum berpendidikan kita tetap bersikap tertib dan manut tanpa menunjukan jiwa premannya, Karo kembali akan tenggelam seperti di masa Orde Baru.
Apa sebenarnya yang saya maksud dengan jiwa preman? Saya menggolongkan Djamin Gintings, Selamat Ginting dan Payung Bangun (bukan Prof. Dr. Payung Bangun) sebagai seorang preman. Tapi hanya Djamin Gintings yang bisa menggabungkan jiwa premannya dengan kehausan terhadap ilmu pengetahuan. Dia menamatkan sekolah militer di Kadet Berastagi, mengikuti kursus militer di Pakistan dan meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatra Utara. Kontan Pribadi (Kapri) Bangun menampar atasannya ketika dia mengikuti sekolah militer di Kadet Berastagi dan kemudian memilih dunia usaha pada masa Orde Baru, meskipun dia telah menduduki rangking tinggi di TNI. Di samping berusaha dia membentuk klub catur Gama Gundaling (seperti nama hotelnya) di Jakarta. Gabungan jiwa preman dan keintelektualannya ternyata membuat dia menjadi salah seorang pengusaha paling berhasil di Indonesia. Atar Sibero (mantan Dirjen Pembangunan Dalam Negeri) yang berasal dari kalangan berpendidikan yang tertib dan manut tak membuat apa-apa untuk sejarah modern Karo. Dia sendiri tenggelam tak berbekas.

Sutradara Ginting adalah salah satu preman kita yang berpendidikan. Dia telah dekat sekali untuk menjadi menteri. Inilah hipotesa saya, Karo akan kembali mencuat tinggi di tingkat
nasional bila dia bisa menggabungkan jiwa premannya dengan kehausan pada ilmu pengetahuan. Sejak dari dulu kekuatan masyarakat Karo ada pada kerjasama antara guru dan puanglima. Kaum berpendidikan mewakili jiwa guru dan preman jiwa puanglima. Pemimpin Karo yang perlu kita cari adalah orang yang bersifat guru dan puanglima sekaligus. Mari kita berpikir lebih lanjut bagaimana menggabungkan dua kekuatan terpecah ini. Saya katakan terpecah karena kaum berpendidikan menganggap preman sebagai primitif dan, sebaliknya,
preman menganggap kaum berpendidikan congkak.

*Ditulis pada 13 November 2002

No comments: