Thursday, April 05, 2007

KEDE KOPI CURHAT


Tidak pernah membayangkan kalau kami akhirnya punya kedai kopi. Ketika Ibu menjelang pensiun dia bilang ingin membuka warung kecil untuk berjualan sembako. Melihat pelanggan yang suka kongkow-kongkow di warungnya, akhirnya warung sembako berkembang menjadi kedai kopi. Kedai ini terletak di jalan lintas Medan - Berastagi, sehingga tidak hanya pelanggan lagi yang kongkow, para pelintas jalanpun kerap singgah. Nah....semakin banyak yang singgah, semakin banyak kisah yang akan kau dapatkan. Ini salah satu kisahnya....

******
Teh Nani bukan orang Medan, hanya saat ini sedang merasa terpuruk di Medan. Sebetulnya dia hanya sedang berlibur di Medan, berkunjung ke rumah kakaknya. Suatu ketika dia berkenalan denganseorang pemuda Karo, Sembiring mergana. Seorang pria macho, rambut sebahu yang di rebonding, naik sepeda motor yang sudah di preteli di mana-mana. Kesannya sangat macho.

Sembiring sering menawarkan jasa guide kepada Teh Nani untuk berputar-putar di kota. Pernah juga Teh Nani di bawa ke Langkat, Kampung Sembiring disana. "Aku senang sekali di bawanya berjalan. Pokoknya aku melihat Sumatera di sisi lain,' mata Teh Nani berbinar terang.

Kedekatan Teh Nani dengan Sembiring tercium juga oleh kakaknya yang mendapat warning dari para tetangga. 'Itu adekmu main-main dengan preman. Awas, habis nanti adek kau dibikin,' kata tetangga sebelah melapor yang saban hari mengintip setiap Sembiring menjemput Teh Nani. Terang saja kakaknya Teh Nani tidak terima adiknya dibawa-bawa preman yang gak jelas. Apalagi mereka berasal dari keluarga terhormat, wihh....enggak deh, enggak pernah bermimpi mendapat tambahan anggota keluarga yang tidak jelas begitu, bayangan seram melintas di kepala si kakak.

'Aku suka, aku cinta. Teteh jangan melarang-larang aku,' kata Teh Nani ketika kakaknya memberikan sumbang saran soal pilihan adiknya. Teh Nani dan Sembiring semakin menjadi. Tidak tahan melihat wajah berlipat kakak setiap hari, Teh Nani meneguhkan hati untuk melarikan diri bersama Sembiring. Diam-diam mereka menikah dan akhirnya mengontrak rumah yang terpencil. Yeah...sebulan berkenalan tak ragu mereka menikah. Serasa di surga rasanya....

*******
Itu cerita dalam kunjungan mereka yang pertama, kedua, ketiga dan keempat. mereka rajin ke Berastagi soalnya, naik sepeda motor trail kepunyaan Sembiring. Selanjutnya.....

*****
Sampai pada minggu lalu, pagi-pagi mereka sudah sampai di kedai kopi Ibu. 'Bi, tama bir sepasang, kata Sembiring dengan mata menteleng. Teh nani menatapnya sambilmeremas-remas ujung baju. 'Pa, pagi-pagi koq sudah minum, tadi malam juga pulang mabuk. Teh manis aja ya,' bujuk Teh Nani. Sembiring diam saja sambil menatap Ibu seolah berkata, mana bir saya.

Mulut terkunci dan tanpa melihat, Ibu meletakkan sepasang bir dan gelas besar. Glek..glek..glukk...aaaargghh.....Nyaris habis segelas. 'Kau tunggu disini ya, nanti kujemput kau. Biar kudatangi dulu temanku itu. Minta ditabok rupanya,' ucap Sembiring pada istrinya. 'Pa, kalau bisa gak usah bermasalahlah, yang penting sepeda motor kita kembali,' istrinya setengah merintih. 'Diam kau, kau tahu apa. Gak usah ikut campur, pokoknya kau tunggu aku disini. Bi, kari kugalari ya, kutadingken lebe je anakndu e,' ucapnya pada Ibu. Ibu diam saja, tidak menjawab. Ngess...Sembiring langsung hilang di tanjakan.

Teh Nani berkaca-kaca, menatap Ibu dan menunduk. "Kenapa, nak? usap Ibu di kepalanya. "tadi malam dia pulang sambil mabuk, Bu, dia marah-marah. Katanya, sepeda motornya di gadaikan temannya. Dia sudah sering bohong, makanya saya ikut kesini. takutnya dia yang menggadaikan sepeda motor, bukan temannya.

Aku tak mendengar kelanjutannya, karena harus buru-buru ke kampus. Hingga sorenya aku pulang jam 4.

kaget aku setengah mati, Teh Nani masih ada. Kenapa, Mak?, tanyaku. Suaminya belum datang juga, jawab Ibu lirih. tiba-tiba Teh nani mendekati Ibu, Bu, menurut bagaimana kalau saya pulang dulu ke rumah. Entar saya ambil uang, buat bayar ini semua. Sekalian saya dipinjami ongkos, saya tidak ada bawa uang sepeserpun. Matanya berkaca-kaca. Ibu melihatku. 'Ya udah Teh, entar bareng saya aja, nanti saya bayarin ongkosnya, kebetulan saya juga mau ke rumah teman, kataku.

Setelah mengganti pakaian, aku mengajaknya berangkat. 'Nak, kalau kamu susah, mainlah kesini, nanti bisa cerita-cerita dengan saya, kata Ibu. Tiba-tiba Teh Nani berbalik dan terduduk du kursi. Tersedu-sedu. Ibu, saya udah gak kuat lagi. Saya mau pulang saja ke orang tua saya, sedannya. Susah payah ibu mendamaikan hatinya, hingga kami berangkat lagi.

Di persimpangan Tanjung Sari kami turun. Aku selipkan sedikit uang di tangannya.'Teh, saya sudah putuskan tidak mau kembali lagi ke suami, ucapnya pelan. Pelan tapi membuatku terlonjak. 'Saya udah gak tahan Teh, saya capek. Saya udah bohongi orang tua untuk biaya hidup kami. Sudah dua kali sepeda motornya saya tebus, tetapi dia tetap tidak mau bekerja. Saya mau ke rumah kakak saya. Besok pagi kakak pasti mau belikan tiket buat saya, saya harus pergi. Nanti kalau dia cari saya, teteh bilang aja, saya sudah naik angkot pulang ke rumah,' katanya pelan namun tegas.

'Pikirkan sekali lagi, apa kamu udah yakin, kataku lagi. jauh dalam hati aku mendukung pelariannya. "Yakin teh, katanya pasti. Aku langsung menyetop angkot jurusanke rumah kakaknya. Hanya doa dalam hatiku, semoga kau tiba dengan selamat dan bisa bertemu lagi dengan keluargamu.

Medan, 5 April 2007