Sunday, June 29, 2008

Coba

Sedang mencoba untuk posting lagi...semoga bisa....kayaknya bisa nih. Udah hampir 3 minggu aku tidak bisa menulis.

Sunday, June 08, 2008

Perbedaan Antara Sembuyak dan Senina

Ditulis Juara Rimantha Ginting

Saudara Aminta Ginting menyebut saya mbuyak (sembuyak) dalam diskusi tentang preman di milis ini, hanya karena saya bermarga Ginting.Secara sepintas saya menduga dia berasal dari Berneh atau Si Ngalor Lau karena di sana sesama merga menggunakan kata mbuyak atau sembuyak sebagai panggilan akrab. Berbeda halnya dengan daerah Julu dan Gunung-gunung, sesama Ginting, misalnya, menggunakan istilah senina sebagai panggilan akrab. Dalam pertuturen resmi, semua daerah Karo mengikuti aturan sama. Sesama Ginting atau Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan sudah bisa saling menyebut senina. Mereka bisa juga saling menyebut sembuyak bila mereka berasal dari sub merga sama atau sub merga mereka punya hubungan sejarah khusus. Tapi hubungan sembuyak antara sub merga sebenarnya tidak begitu sederhana.

Ginting Munte bisa berhubungan sembuyak dengan Ginting Manik, Jawak, Sinusinga dan Tumangger tapi tidak dengan sub-sub merga yang tergabung dalam Siwah Sada Ginting seperti Suka, Jadibata dan lain sebagainya. Sesama Munte yang berasal dari Si Pitu Kuta Ajinembah berhubungan sembuyak, tapi Munte Ajinembah dengan Munte Tengging hanya berhubungan senina. Sesama Sitepu Teran berhubungan sembuyak tapi antara Sitepu Si Empat Teran dengan Sitepu Si Enem Kuta berhubungan senina. Masih banyak contoh lain yang lebih rumit lagi.

Sekarang ini banyak orang Karo menganggap sembuyak dan senina sama sehingga mereka dia menerima sistim sangkep sitelu atau daliken sitelu atau rakut sitelu dengan formasi sembuyak/ senina, anak beru dan kalimbubu. Untuk membuktikan bahwa sembuyak dan senina tidak sama sangat mudah. Senina bisa melalui perkawinan seperti senina siparibanen, senina sipemeren dan senina sendalanen. Tapi sembuyak hanya bisa melalui garis keturunan bapa.

Kalau sembuyak dan senina sudah jelas tidak sama, mengapa kita ikut- ikutan meminjam istilah Minang (tiga tungku sejarangan) dan istilah Toba Dalihan Na Tolu? Itu kan empat (sembuyak, senina, anak beru, kalimbubu), bukan tiga? Dalam penelitian saya Toba juga punya empat; dongan saboltok, dongan tubu, anak boru dan hula-hula.

Inilah salah satu contoh bahwa konsep yang kita sudah pergunakan secara kokoh dan percayai tentang kebudayaan tradisional Karo tak tahunya buatan Barat alias Trinity dalam agama Kristen.

Sampai ketemu dalam acara destruktif yang lain. Mejuah-juah.

*ditulis pada 16 November 2002

Friday, June 06, 2008

ANTARA PREMAN DAN SARJANA KARO (3)

SUDUT PANDANG DARI SEBUAH KENYATAAN
Oleh Juara Rimantha Ginting

Ada suatu kenyataan, yang kita sama-sama rasakan, kita tahu itu, tapi kita mengalami kesulitan untuk membuat suatu pernyataan bersama atas kenyataan itu. Ketika saya melontarkan istilah preman dalam arti positip, mencuat gapaian-gapaian rasa galau dan risih akan istilah tersebut. Beberapa tanggapan atas dua tulisan saya sebelumnya menghadapkan saya pada suatu kenyataan baru yang saya tidak duga sebelumnya. Kata preman rupanya sudah mengental satu dengan kekejaman dan kengerian. Kelihatannya semua pihak punya
pandangan sama bahwa preman itu adalah musuh seluruh umat manusia yang bukan preman. Inilah kenyataan baru yang saya tidak duga sebelumnya. Membuat saya bertanya diri apakah istilah lama "berpakaian preman" juga sudah berubah artinya menjadi "berpakaian penjahat"?

Kenyataan baru itu saya rasakan ketika membaca judul email kiriman impalku Harmadi Sinuhaji "Yang Ini Ceritera PREMAN Betulan, Lho Pak!!!" Aku tersentak, karena bagiku apa yang dia ceriterakan sama sekali bukan tentang preman melainkan tentang perampok. Apakah istilah preman telah menjadi suatu "istilah mencakup" (encompassing
term) untuk segala bentuk kejahatan seperti perampokan, pengompasan, pemerkosaan, pembunuhan dan pencurian? Kalau memang begitu adanya, kita tidak perlu lagi memakai istilah perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri. Cukup dengan kata preman saja (Baru beberapa tahun saya tidak berada di Indonesia ternyata saya telah
ketinggalan jauh dalam berbahasa Indonesia).

Saya minta maaf atas kekolotanku berbahasa Indonesia yang membuat sebagian pembaca resah, seperti halnya impalku Goldian Purba dan sembuyakku Amin Ginting (Sembuyak nge kita entah ersenina, Ginting apai kin Gintingndu e? Aku Ginting Munte -- Si Pitu Kuta Ajinembah la Tengging).

Tapi ada juga baiknya mengambil jarak dari perubahan bahasa yang cepat, agar kita tetap dapat berpegang pada logika dasar tanpa termakan oleh anggapan umum yang membenamkan kita jauh dari logika dasar. Anggapan umum itu sendiri bisa direkayasa oleh orang-orang tertentu melalui media massa untuk kepentinggan golongan tertentu. Persilahkan saya membuat beberapa contoh untuk menjelaskan apa yang saya maksud dengan logika dasar.

Penggali kuburan adalah salah seorang yang senang bila ada orang mati, meskipun dia akan kena "tayap-tayap" kalau dia mencetuskannya. Siapa yang diuntungkan oleh keadaan tidak aman di Indonesia? Tentu saja orang yang makan dari pekerjaan menjaga keamanan. Logika
dasarnya adalah bahwa si penjaga keamananlah yang membutuhkan keadaan tidak aman. Seperti keamanan pajak pagi yang dituturkan oleh saudara Amin Ginting; si pencuri adalah pengaman dan si pengaman adalah pencuri. Mengapa kata-kata perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri diganti dengan kata preman? Logika dasarnya adalah agar pembasmian premanisme mendapat dukungan rakyat kebanyakan, karena rakyat kebanyakan takut pada perampok, pengompas, pemerkosa, pembunuh dan pencuri. Rakyat kebanyakan yang latah tidak menyadari adanya pergeseran dari perang melawan kejahatan ke perang melawan premanisme. Karena kejahatan dan premanisme telah dianggap
sama. Dianggap sama bukan berarti memang betul sama. Siapa yang diuntungkan oleh anggapan umum bahwa kejahatan sama dengan premanisme? Jelas sekali orang-orang yang ingin membasmi premanisme dari permukaan bumi dengan dukungan rakyat.

Apakah orang-orang ini juga punya niat untuk membasmi kejahatan (?), masih merupakan tanda tanya besar. Yang penting untuk mereka adalah menghilangkan premanisme. Bahayanya, gambaran tentang premanisme tidak terbatas pada kejahatan-kejahatan melanggar hukum resmi. Penguasa mendapat wewenang dari rakyat untuk mengganyang "segala" bentuk premanisme meskipun si terganyang bisa jadi belum pernah sekalipun melakukan tindakan yang bisa didefenisikan sebagai kejahatan secara hukum resmi. Tuntutan rakyat kan pengganyangan premanisme, bukan kejahatan? Jadi, dari masalah hukum ke politik.

Di sinilah kaum intelektual kita perlu berpikir kritis. Jangan mau ikut bergeser, apalagi tanpa sadar, dari perang melawan kejahatan ke perang melawan premanisme. Banyak orang yang dianggap preman bukan karena mereka melakukan kejahatan. Kam perlu renungkan ini. Di pihak lain, banyak pelaku kejahatan yang sama sekali tidak dianggap preman. Sebut saja sebagai contoh, ayah yang memperkosa putri kandung sendiri atau pertua yang mencuri uang kolekte. Mengalihkan masalah kejahatan ke masalah premanisme hanyalah untuk memperingan tanggung jawab aparat keamanan, bukan untuk mencapai sasaran yang sebenarnya. Gejala ini juga memberi kesempatan kepada golongan-golongan tertentu untuk membasmi musuh politiknya, terutama partai-partai politik yang mendapat dukungan terbesar dari orang-orang yang tidak perlu takut gajinya tidak dinaikan alias pengangguran bin
preman.

Impalku Benyamin Sitepu tampaknya sangat bisa mengikuti revolusi konsep (bukan fisik) yang aku lemparkan. Dalam menelusuri kekuatan politik Karo aku mengikuti jalur destruktif bukan konstruktif. Destruktif karena aku membongkar (bukan membangun) apa yang telah
menjadi bangunan kokoh anggapan umum. "Preman adalah penjahat. Titik." Inilah bangunan kokoh pemikiran umum di Indonesia yang aku mau bongkar. Masih banyak lagi bangunan-bangunan kokoh seperti ini yang perlu kita runtuhkan karena sebenarnya merugikan kita sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh saudara Amin Ginting. Kepercayaan tradisional Karo yang masih dekat dengan animisme dan dinamisme. Kata-kata "... masih dekat dengan ..." mengisyaratkan bahwa saudara Ginting adalah, sadar atau tidak sadar, penganut evolusionisme. Tidak ada salahnya menganut teori evolusionisme. Tapi teori evolusionisme bukan satu-satunya teori yang dipergunakan manusia untuk menjelaskan keanekawarnaan kehidupan beragama atau berkepercayaan (mungkin kam tidak menerima Pemena atau Perbegu sebagai agama). Apakah kita mengantongi begitu saja teori-teori lain? Apakah kam akan membasmi saya kalau saya memakai teori lain untuk menjelaskan kepercayaan tradisional Karo?

Tahun 1966, DGI melakukan kampanye besar-besaran di Kabanjahe untuk memanggil orang-orang Karo berlindung di bawah gereja untuk terhindar dari tuduhan atheist/ komunis. Tahun 1967, berdiri Balai Pustaka Adat Merga Si Lima yang menyerukan bahwa Pemena bukan
atheist/ komunis dan bahkan setara dengan agama-agama dunia lainnya. Saat itu Dr. Euwe (Belanda) baru saja memenangkan kejuaraan catur dunia, mengingatkan orang-orang Karo akan pertandingan antara Dr. Euwe dengan Narsar (Pa Kantur) Purba yang berlangsung alot dan remis di Amsterdam beberapa tahun sebelumnya. Narsar Purba adalah tokoh spiritual gerakan Perodak-odak dengan Pa Raja Bale Ginting (Murba) sebagai pemimpinnya. Secara berame-rame orang-orang Karo meninggalkan gereja dan kembali ke Pemena. Pada sinode 1969, Anggapen Ginting Suka terpilih menjadi ketua moderamen GBKP. Dia mengilhami strategi baru; dari anti tradisi lama menjadi teman tradisi lama. Sejak itu anggota GBKP meningkat drastis. Pada tahun 1972, Partai Murba dibekukan. Adam Malik naik haji dan pindah ke GOLKAR. Pa Raja Bale mengikuti jejaknya, masuk Islam dan pindah ke GOLKAR. Djamin Gintings berhasil mengubah total haluan politik Karo dari sosialis-nasionalis ke GOLKAR (Djamin Gintings adalah pendiri GAKARI, organisasi inti GOLKAR pada permulaan Orde Baru). Terjadi frustrasi berat di kalangan Pemena. Bupati Karo Siregar dan Partai
Murba tidak dapat lagi melindungi mereka secara politik.

Saat itu pemburuan bekas-bekas anggota PKI golongan C mulai lagi dilancarkan. Suatu hari datanglah direktur perguruan Khalsa Medan (seorang Sikh) ke Berastagi, didampingi oleh Lamlo (Tamil Medan) dan Brahma Putro (K. S. Brahmana) (kepala SMA Khalsa). Mereka berbicara dengan pengurus-pengurus Balai Pustaka Adat Merga Si Lima di Hotel Asia hingga mencapai kesepakatan bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu. Terbentuklah Persatuan Hindu Karo dengan kantor pusat di Berastagi yang kemudian pindah pada tahun 1985 ke warung perkolong-kolong Malem Pagi Ginting di Kabanjahe. Tahun 1985 diresmikan cabang Parisada Hindu Dharma Karo bersamaan dengan peresmian Pure Bali (gaya arsitektur Bekasih) di Desa Tanjung Kecamatan Kutabuluh (Kabupaten Karo). Dengan 50.000 anggota resmi ditambah 50.000 simpatisan. Jumlah anggota Parisada Hindu Dharma terbesar di Indonesia di luar Bali saat itu.

Apa sebenarnya yang mau saya tunjukan dengan kisah singkat di atas? Kam lihat bagaimana pikiran tentang kehidupan beragama/spiritual berbeda-beda? Perbedaan pandangan tentang kehidupan beragama bercampurbaur dengan keadaan politik saat itu. Sehingga terjadi suatu "game" dengan mana konsep yang dipakai sebelumnya diubah untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya saja, dari rasa sinis terhadap gendang dan tudung berubah menjadi senyuman manis terhadap perumah begu dan perumah jenujung. Sama halnya dengan peralihan dari ide bahwa Pemena/ Perbegu setara dengan agama-agama dunia lainnya ke ide bahwa Pemena/ Perbegu adalah Hindu Dharma. Karena itu saya tetap bersikap hati-hati atas perubahan arti kata preman. Game apa pula yang sedang kita hadapi ini? Itulah pesansaya yang paling penting dari dua tulisan sebelumnya. Saya mencoba menjamah kekuatan politik terbesar dari Karo untuk bersaing di tingkat nasional.

Bukan untuk menyelesaikan persoalan nasional atau kemanusian secara umum, apalagi untuk mempesoalkan apakah kata roh kudus itu lebih baik dengan begu kudus (kata Indonesia roh berasal dari bahasa Timur Tengah, Arab dan Ibrani, ruah). Begitu juga dengan
perbedaan antara spirit dengan soul. Apakah pembedaan antara spirit dengan soul berlaku untuk semua kebudayaan dunia atau hanya untuk kebudayaan/ religi tertentu? Sebagian orang Belanda membedakan kata geest (terjemahan Inggris, spirit) dengan ziel (soul), tapi sebagian lainnya menganggapnya sama saja. Mana yang benar? Bagaimana pula meletakan kata ghost (mirip dengan kata Belanda geest, tapi terjemahan Belandanya spoke) yang di bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan hantu. Apakah begu tak lain tak bukan adalah hantu atau ghost? Kata Inggris mana yang akan kita pakai dalam menterjemahkan semangat, misalnya dalam semangat bermain bola kaki? (Kalau tidak salah spirit).

Bagaimana kita menterjemahkan pengeri daging, daulat daging, jenujung, jambak-jambak, teman erdalen dan peninggeren? Apa yang biasanya dilakukan oleh banyak orang adalah
mengacu pada tujuan, bukan objektivitas atau nilai empirisnya. Dengan kata lain, menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan tradisi Karo sudah sebelumnya tergantung pada tujuan tertentu yang mbuyakku Amin Ginting mungkin belum sempat memikirkannya. Tujuannya adalah menyudutkan dan meredam pertumbuhan agama-agama yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah pusat, apalagi itu yang kelihatannya sangat dekat dengan ajaran komunisme.

Siapa teman CIA dalam memerangi komunisme di dunia? Islam. Siapa yang membangun dan membiayai IAIN? CIA. Siapa musuh CIA dan FBI sekarang ini? Islam. Sudahkah kita baca game ini? Siapa sebenarnya yang benar-benar takut terhadap premanisme? Logika dasar,
orang-orang yang ingin semua manusia yang hidup di Indonesia berada dalam pengaturannya. Mengapa pemerintah merasa perlu mengeluarkan orang-orang Kubu dari hutan-hutan untuk tinggal di pemukiman miskin? Supaya bisa dikontrol. Mereka kan bukan penjahat dan bukan pula penebang hutan. Bukan itu soalnya. Soalnya adalah bahwa setiap makhluk hidup harus berada di bawah pengawasan mata sang raja yang dibayang-bayangi oleh ketakutan akan adanya kudeta baru. Di sinilah letak permasalahnnya mengapa premanisme perlu dijadikan sebagai momok masyarakat, meskipun momok yang sebenarnya dibiarkan
berkeliaran secara leluasa.

Kalau masalahnya perampokan, katakanlah tangkap perampok. Jangan katakan tangkap preman. Nanti saya tidak berani lagi mengaku Preman Titi Rante. Mejuah-juah.

*ditulis pada 15 November 2002

Lanjutan ANTARA PREMAN DAN SARJANA

MEMBONGKAR ULANG GAMBARAN TENTANG PREMAN (Diskusi Lanjutan Antara Preman dan Sarjana di Karo)
Oleh Juara Rimantha Ginting

Senang sekali membaca reaksi yang segera dari dua kalimbubu Goldian Purba dan Benyamin Sitepu (saya bebere Sitepu) terhadap tulisan saya sebelumnya mengenai preman dan sarjana di Karo. Keduanya menangkappesan samar-samar tulisan itu dengan jelas. Namun terasa ada sedikit ganjalan akan kata preman. Berikut ini saya mencoba membongkar ganjalan tersebut.

Sebagian besar orang Karo sekarang ini memakai kata "begu" sebagai sesuatu yang semata-mata menakutkan. Padahal kata "begu" dalam pemakaian lama bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Orang-orang Kristen Karo membuat kata begu semakin menakutkan. Padahal pendeta missionaris J.H. Neuman sendiri, yang menulis Alkitab berbahasa Karo, menggunakan kata begu sebagai sesuatu yang positip. Termasuk dalam membuat Doa Bapa Kami berbahasa Karo para umat dianjurkan menyebutkan Yesus "nusur ku begu" setelah dikubur.

Sama halnya dengan kata preman. Hampir semua media massa di Indonesia sekarang ini memakai kata preman sebagai sesuatu yang harus dienyahkan dari permukaan bumi. Terutama sekali dalam kaitannya dengan issu penggunaan kelompok-kelompok preman oleh
golongan tertentu untuk mengancam masyarakat. Sehingga preman menjadi sama artinya dengan setan. Tak ada satu jua yangmempertanyakan siapa dan apa sebenarnya preman. Seolah-olah sudah jelas sekali apa yang dimaksud dengan preman. Untuk apa dibongkar-bongkar kalau kita tokh saling mengerti apa maksudnya meskipun dia telah berubah dari arti semula? Saya khawatir bahwa orang-orang Indonesia pikir saling mengerti dengan
kata preman, padahal kenyataannya tidak. Bila media massa Indonesia menulis bahwa kelompok tertentu sebagai kelompok preman, secara terselubung dia menuntut agar aparat hukum menangkap orang-orang yang tergabung di dalam kelompok itu sebagai pelanggar hukum.

Padahal tak ada satu bagianpun dari hukum kita yang bisa menjaring preman sebagai pelanggar hukum. Inikah yang kita maksud saling mengerti? Kalau tidak menemukan preman dalam khasanah bahasa hukum, di mana kita bisa menemukannya? Coba saya bandingkan dulu dengan kata jelek. Juga tidak ada satu bagianpun dari hukum kita yang bisa
menjaring orang berwajah jelek, berwatak jelek maupun berperangai jelek. Menuduh orang berperangai jelek adalah normatif yang bermaksud menyudutkan atau merendahkan nilai seseorang di mata masyarakat. Polisi memang berhak menangkap orang berwajah jelek bila
ada indikasi bahwa dia mempergunakan wajahnya yang jelek untuk mengganggu ketertiban umum.

Apa pula yang dimaksud dengan ketertiban umum? Apa itu tertib, apa itu umum? Kalau banyak orang mengeluh akibat kelakuan seseorang, maka orang itu dianggap telah mengganggu ketertiban umum. Berapa orang yang mengeluh baru kita bisa katakan telah mengganggu ketertiban umum? Jawaban dari semua pertanyaan ini ada pada tangan penguasa resmi. Kalau kita bukan penguasa resmi, tidak ada hak hukum kita menentukan seseorang telah mengganggu ketertiban umum. Demikian halnya dengan arti baru dari kata preman. Sangat normatif. Media massa sangat gencar memakai kata preman untuk
menyudutkan orang-orang yang tidak disenanginya. Apanya dari orang itu yang dia tidak senangi. Kepremanannya atau tindakannya mencabut nyawa orang lain? Kalau tindakannya mencabut nyawa orang lain, jangan sebut dia preman, sebut saja pembunuh. Kalau memang
kepremanannya yang dia tidak sukai, maka si wartawan pastilah salah seorang dari antek-antek penjajah atau keturunannya.

Mari kita telusuri asal-usul kata preman. Preman adalah pengucapan Indonesia atas kata Belanda "vrijman" (baca freiman) yang arti harafiahnya orang bebas. Pada masa penjajahan, orang-orang Belanda menggolongkan kaum pribumi tertentu sebagai vrijman. Meskipun arti kata itu sendiri tidak mesti negatif, para penjajah dan orang-orang yang berada di pihak mereka menggunakan kata vrijman dalam arti negatif. Siapa yang mereka golongkan sebagai vrijman?

Jawabannya, orang-orang yang sama sekali tidak bisa mereka kuasai. Oleh karena itu para pejuang kemerdekaan kita menggunakan kata yangsama (dengan ucapan preman) sebagai kata yang berarti positif. Di pihak para pejuang, mendapat julukan preman adalah suatu kebanggaan. Saya harap sekarang kita sampai pada satu titik saling mengerti bahwa kata preman bisa berarti negatif tapi juga bisa berarti positif. Dari uraian singkat di atas kita juga bisa melihat bahwa orang-orang yang mengartikan preman dalam arti negatif adalah
orang-orang yang tidak menyukai kebebasan/ kemerdekaan. Siapa orang- orang ini? Jawabnya adalah orang-orang yang diuntungkan oleh adanya keadaan tertib dan langgeng.
Apakah sebagian besar rakyat Indonesia diuntungkan oleh keadaan tertib dan langgeng?

Masa Orde Baru bisa dikatakan jamannya lumayan tertib dan langgeng, secara fisik tentunya. Soalnya orang bertato saja langsung disikat Petrus. Di lain pihak, para preman yang punya pengaruh besar diajak kerjasama oleh penguasa sehingga mereka sebenarnya bukan preman lagi, melainkan anjing penguasa. Tapi, apa sebenarnya yang dimaksud dengan tertib dan langgeng? Sejak masa penjajahan hingga sekarang ini, dalam pelaksanaannya, keadaan
tertib dan langgeng ditinjau hanya sejauh mata memandang dengan mengambil posisi dari orang-orang yang diuntungkan oleh keadaan itu. Bagaimana dengan orang-orang yang dirugikan oleh keadaan tersebut. Tak dipedulikan. Soalnya mereka tidak bisa ngomong. Kalau ngomong sikat saja. Atau tuduh saja dia PKI agar anggota masyarakat lain yang pernah dirugikan PKI mengganyangnya.

Sekarang kita tiba pada apa yang hendak saya ungkapkan melalui tulisan sebelumnya, yang sebenarnya agak sulit diungkapkan tanpa adanya reaksi dari impalku Purba ras Sitepu mergana. Kita sering menggunakan istilah-istilah negatif untuk menuding orang- orang tertentu tanpa menyadari bahwa istilah-istilah itu berasal dari orang-orang yang menikmati keadaan sedangkan orang-orang tertuding adalah sebenarnya korban keadaan. Apa akibatnya kalau
rakyat kalangan bawah ikut menjuluki orang-orang yang menakut-nakuti kalangan bawah dengan istilah preman? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, mari kita catat terlebih dahulu dua hal penting: 1. Sebenarnya tidak ada kriteria jelas dan syah siapa saja yang bisa
digolongkan sebagai preman, 2. seorang pembunuh adalah pembunuh dan seorang pemaksa orang lain adalah pemaksa orang lain bukan mesti dijuluki preman.

Baik. Sekarang jawaban atas pertanyaan tadi. Atas nama tuntutan rakyat, para penguasa akan menyikat habis segala bentuk premanisme. Sasaran mereka yang pertama adalah orang-orang yang mengganggu ketentraman penguasa dan orang-orang kaya, bukan
orang-orang yang mengganggu ketentraman rakyat jelata. Atas nama tuntutan rakyat juga mereka akan menyikat pengangguran yang ngumpul-ngumpul di persimpangan jalan dengan rambut mereka yang gondrong urakan dan dengan pakaian yang tambal sulam (karena tidak punya uang). Padahal alasan sebenarnya adalah karena orang-orang kaya merasa tidak aman melewati persimpangan jalan itu. Sekali lagi, "merasa" tidak aman. Orang-orang kayalah yang tidak tahan melihat orang-orang jelata, bukan orang-orang jelata itu sendiri. Impalku Goldian Purba mencoba menjelaskan bahwa: "...kepremanan bukan satu-satunya modal yang diandalkan sejumlah tokoh Karo yang disebutkan dalam analisis ini. Sikap yang mereka perlihatkan itu bukan wujud kepremanan tapi lebih pada cara menyampaikan sesuai yang dianggap lebih frontal atau tegas. Mereka tak mau menggunakan kalimat bersayap, atau bermulut manis sekadar agar disenangi lawan bicara atau atasannya ..."

Di sini kita berbeda pendapat Mpal. Sifat-sifat inilah yang bagi saya mewujudkan kepremanan. Hanya saja, kata preman yang saya pergunakan bukanlah kata preman yang dipergunakan oleh para penjajah dan antek-anteknya, melainkan apa yang dipakai oleh para pejuang kemerdekaan. Kam mempertanyakan "... apakah [kata preman] hanya [merujuk kepada] ...
orang[-orang] urakan, tempramental, dan berani adu fisik? ..." Tidak. Tapi apa salahnya menjadi orang urakan, tempramental dan berani adu fisik? Di sinilah letak persoalannya. Kita ikut berbicara seperti priyayi padahal para priyayi sendiri memandang kita abangan. Inilah taktik penjajah memecahbelah kaum jelata. Rusa berlagak harimau terhadap rusa-rusa lainnya tanpa menyadari bahwa kalau harimau sesungguhnya datang dia tidak lain adalah rusa bagi si harimau sesungguhnya.

Impalku Benyamin Sitepu sudah sangat dekat dengan pesan terselubung saya. Dia menceriterakan bahwa "... [pada masa penjajahan Jepang nini bulangku] mencetak uang palsu ... [Karena itu nini bulang dicap sebagai] seorang avonturir, smart & vrijman.
Dibalik sisi negative yang saya lihat, sebenarnya point-point tersebut di atas dapat dilihat sebagai satu hal [yang] pantas dibanggakan ..." Saya ikut bangga sekali mendengar hal ikhwal nini bulangta e Mpal. Tapi mengapa kam merasa perlu mengatakan "... di balik sisi negative yang saya lihat ..."? Itu negatif hanya bagi si penjajah yang menginginkan ketertiban dan kelanggengan untuk mempertahankan kekuasaannya. Apakah kam juga telah menjadi salah satu diantara rusa yang menganggap diri harimau? Itulah program penjajah Belanda memberi kesempatan kepada anak-anak para bangsawan pribumi mengecap pendidikan sekolahan; agar mereka merasa diri harimau terhadap sesama rusa.

Demikian juga program pendidikan di masa Orde Baru, mencetak sarjana-sarjana yang berpikir seperti penguasa meskipun mereka sebenarnya tidak pernah bisa masuk ke golongan penguasa. Mungkin impalku Purba dan Sitepu merasa bahwa aku anak Orde Lama. Tidak Mpal. Aku ini lahir di tahun 1963. Pergi ke sekolah di bawah program Orde Baru. Aku terlahir di dekat Titi Rante Padang Bulan. Sepanjang masa sekolah/ kuliah hingga bertugas sebagai dosen di USU aku tetap Preman Titi Rante Mpal. Tahun 1991 sampai 1994 aku menyelesaikan studi program master di Leiden. Tahun 1996/7 aku bekerja sebagai dosen tamu di Jerman (antropologi Indonesia), 1998 dosen tamu di Denmark (antropologi Batak), dan 2000-1 guru bahasa dan sastra modern Indonesia di International School of Rijnlaan Lyceum (Belanda), tingkat SMTA. Sampai sekarang masih pegawai negeri.

Tapi aku tak pernah berpikir sebagai harimau kalau harimau-harimau sesungguhnya tokh menerkamku juga sebagai seekor rusa. Aku tetap bangga sebagai Preman Titi Rante, atau lebih keren lagi Preman Pasar Satu. Kam mungkin pikir pula bahwa aku ini orang PDI. Tidak
Mpal. Aku ini vrijman. Di tiga negara tempatku pernah kerja, teman-teman sejawat menyebutku Harimau Liar Karo. Mereka sudah tahu bahwa Karo bukan Batak, karena kukatakan "siapa yang mengatakan aku orang Batak erdeteng atem takal me". Mereka tertawa. Maaf. Kalimat-kalimat terakhir sudah dipengaruhi tuak Belanda, alias anggur merah. Mejuah-juah.

Leiderdorp (The Netherlands)
14 Nopember 2002

Tanggapan terhadap tulisan ANTARA PREMAN DAN SARJANA

Dari Goldian Purba ditulis pada 14 November 2002 :
Sungguh menarik analisis ini. Tapi benarkah hanya karena tertib intelektual karo tidak terangkat menjadi tokoh terkenal, baik di tingkat lokal maupun dalam wilayah yang lebih luas?
Selain itu, sebutan preman dalam konteks ini, apakah hanya untuk orang urakan, tempramental dan berani adu fisik?

Saya berpandangan, kepremanan, bukan satu-satunya modal yang diandalkan sejumlah tokoh karo yang disebutkan dalam analisis ini. Sikap yang mereka perlihatkan itu bukan wujud kepremanan tapi lebih pada cara menyampaikan sesuai yang dianggap lebih frontal atau tegas. Mereka tak mau menggunakan kalimat bersayap, atau bermulut manis sekadar agar disenangi lawan bicara atau atasannya. Pendeknya, mereka tidak munafik. Dan di balik cara tersebut, sesungguhnya mereka adalah orang-orang cerdas yang mengetahui apa mereka bicara dan bukan hanya membicarakan apa yang mereka ketahui. mereka punya sikap, tak mudah goyah pada pendiriannya.



Dari Benyamin Sitepu ditulis pada 14 November 2002:
Dengan membaca pemikiran yang dikirim Pak Ginting dibawah, mengingatkan saya tentang cerita - cerita sejarah masa lalu. Satu kenyataan, beberapa tahun sebelum merdeka Nini Bulang kami telah memiliki bibit politikus tingkat kampung. Berkonco dengan sibayak-sibayak. Dan pada saat itu beliau ditangkap dan dikirim ke Hotel Prodeo ( Nusa Kambangan, yang dijaman sekarang setara dengan penjara Alcatraz, the hotel where you never returned). Why sampai dikirim ke sana ??? Karena pada saat itu beliau mencetak uang palsu. Dapat di
describe bahwa beliau adalah seorang avonturir, smart & vrijman.

Dibalik sisi negative yang saya lihat, sebenarnya point-point tersebut diatas dapat dilihat sebagai satu hal pantas dibanggakan. Teknologi memalsukan gulden sudah kita miliki, Sibayak connection secara informal sudah ada, jiwa petualang sudah ada dan jiwa vrijman sudah ada. Sampai akhir hidupnya foto Soekarno bersama Paus merupakan foto terbesar dan
terlama digantung di rumah kami. Soekarno merupakan role model untuk beliau. Kalau kita tanyakan orang-orang tua di pedesaan, pasti Soekarno adalah tokoh idola dan role model untuk mereka. Dengan kata lain, mereka juga pingin menjadi soekarno-soekarno kecil (setidaknya dalam hati). Menjadi soekarno tidak harus menjadi pemimpin yang terkenal tapi boleh jugakan sebagai oposisi. Yang pasti semangat revolusioner sudah tertanam di masyarakat kita.

Ada bermacam-macam cara berjuang. Ada yang frontal dan ada yang disebut dengan ahimsa. Semua tujuannya sama. Satu permasalahan dalam jaman sekarang ini, dalam hati kita generasi muda apakah masih ada semangat berjuang? apakah kita mengerti arti satu
perjuangan. Perjuangan harus kita mulai dari scope kecil (lingkungan kerja) dan untuk
berkembang lebih luas, mungkin kita perlu mulai bangun karo connection. missinya mengangkat semua pemuda karo dalam semua aspek. Ini yang kita belum punya. Kita perlu belajar dari apa yang terjadi dengan saudara kita Masyarakat Tapanuli.



ANTARA PREMAN DAN SARJANA

Dalam Menelusuri Kekuatan Politik Karo
Oleh Juara Rimantha Ginting


Pada sebuah kampanye GOLKAR di masa Orde Baru, seorang menteri mengatakan bahwa satu persen dari orang Karo adalah sarjana.Persentase tertinggi diantara suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Hal ini mendorong sejarawan terkenal dari Australia, Anthony Reid, untuk melakukan penelitian khusus dengan pertanyaan: Mengapa Karo tiba-tiba beralih dari suku yang anti terhadap segala hal berasal dari Barat ke suku yang memburu kehidupan Barat. Peristiwa berdarah di tahun 1965 tampaknya menjadi titik puncak peralihan ini.

Sebelumnya Karo berusaha tetap bertahan dengan tradisinya. Sesudah peristiwa itu, Karo berusaha secepat mungkin ke luar dari tradisinya agar tidak dicap primitif. Saat itu, keprimitifan dianggap sama dengan atheis, dan atheis diasosiasikan dengan komunis.
Ketakutan dituduh komunis kiranya mendorong Karo lebih menerima pengaruh Barat. Pendidikan modern (sekolahan) merupakan salah satu lambang terlepasnya seseorang dari dunia primitif. Sayangnya, Kepres 1958 yang menyatakan Karo sebagai suku terasing,
karena sebagian besar belum beragama, sampai sekarang belum pernah dicabut meskipun satu persen orang Karo adalah sarjana dan sebagian besar telah memeluk agama Protestan, Katolik, Islam dan Hindu.

Apa yang tersisa dari sejarah modern Karo? Cepatnya modernisasi di kalangan Karo membuat orang-orang Karo sendiri terlupa siapa Karo sebelum peristiwa 1965. Pemerintah jajahan Belanda mencap orang- orang Karo sebagai bandit-bandit liar yang tidak bisa diajak
kompromi karena mereka tidak pernah berhenti mengganggu kapital Belanda. Pemerintah Orde Lama melihat Karo sebagai salah satu basis kekuatan politiknya baik dalam melawan kekuatan asing maupun untuk kemantapan posisi Soekarno sebagai pemimpin bangsa. Orang-orang Karo sendiri melihat Karo sebagai vrijman (orang bebas); tak bisa dikuasai oleh siapapun dan bisa menentukan nasibnya sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Cara pandang seperti ini paling tidak disukai oleh Orde Baru. Orde Baru adalah orde ketertiban. Rakyat harus tertib dan manut pada pemerintah.

Sebagian orang Karo dapat menjadi orang tertib di masa Orde Baru, tapi sebagian lainnya meneruskan jiwa vrijman (preman). Jiwa preman yang sama artinya dengan pahlawan di masa penjajahan dan Orde Lama kembali berarti bandit/ penjahat di Orde Baru. Preman Karo menjadi pahlawan lagi di masa Reformasi. Sebagian besar orang Karo yang menjadi pengurus PDI-P adalah preman. Merekalah yang mencuatkan Karo kembali sebagai salah satu peta politik penting di tingkat nasional.

Di mana kedudukan sarjana Karo dalam perjalanan sejarah modern Karo? Tak lebih dari pada menjadi orang tertib dan manut. Tidak ada diantara mereka yang mencuat menjadi pemimpin tingkat nasional. Mereka tidak membuat sejarah apa-apa. Almarhun Prof.Dr. Masri
Singarimbun (antropolog) adalah satu-satunya sarjana Karo yang disegani di tingkat nasional (dan juga di manca negara).

Tapi, jangan lupa, rekan-rekannya di masa muda mengenal Masri Singarimbun sebagai seorang seniman dan sedikit preman. Karena dikejar-kejar tentara Jepang, dia mengganti namanya dari Matah Ari (bukan Matahari) Singarimbun menjadi Masri (singkatan dari Matah Ari Singarimbun). Tampaknya preman Karo memainkan peran lebih penting dari pada kaum berpendidikan Karo dalam perjalanan sejarah modern Karo di tingkat nasional. Tapi perlu diingat bahwa dalam masa globalisasi sekarang ini jiwa preman tok tanpa berisi ilmu tidak akan bisa berbuat apa-apa. Sepanjang para preman kita yang bergerak di kancah politik nasional hanya mengandalkan kebringasan dan keberaniannya tanpa mengisi diri dengan ilmu pengetahuan, Karo tetap belum berhasil mencuat kembali seperti di masa penjajahan atau Orde Lama.

Sebaliknya, sepanjang kaum berpendidikan kita tetap bersikap tertib dan manut tanpa menunjukan jiwa premannya, Karo kembali akan tenggelam seperti di masa Orde Baru.
Apa sebenarnya yang saya maksud dengan jiwa preman? Saya menggolongkan Djamin Gintings, Selamat Ginting dan Payung Bangun (bukan Prof. Dr. Payung Bangun) sebagai seorang preman. Tapi hanya Djamin Gintings yang bisa menggabungkan jiwa premannya dengan kehausan terhadap ilmu pengetahuan. Dia menamatkan sekolah militer di Kadet Berastagi, mengikuti kursus militer di Pakistan dan meraih gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatra Utara. Kontan Pribadi (Kapri) Bangun menampar atasannya ketika dia mengikuti sekolah militer di Kadet Berastagi dan kemudian memilih dunia usaha pada masa Orde Baru, meskipun dia telah menduduki rangking tinggi di TNI. Di samping berusaha dia membentuk klub catur Gama Gundaling (seperti nama hotelnya) di Jakarta. Gabungan jiwa preman dan keintelektualannya ternyata membuat dia menjadi salah seorang pengusaha paling berhasil di Indonesia. Atar Sibero (mantan Dirjen Pembangunan Dalam Negeri) yang berasal dari kalangan berpendidikan yang tertib dan manut tak membuat apa-apa untuk sejarah modern Karo. Dia sendiri tenggelam tak berbekas.

Sutradara Ginting adalah salah satu preman kita yang berpendidikan. Dia telah dekat sekali untuk menjadi menteri. Inilah hipotesa saya, Karo akan kembali mencuat tinggi di tingkat
nasional bila dia bisa menggabungkan jiwa premannya dengan kehausan pada ilmu pengetahuan. Sejak dari dulu kekuatan masyarakat Karo ada pada kerjasama antara guru dan puanglima. Kaum berpendidikan mewakili jiwa guru dan preman jiwa puanglima. Pemimpin Karo yang perlu kita cari adalah orang yang bersifat guru dan puanglima sekaligus. Mari kita berpikir lebih lanjut bagaimana menggabungkan dua kekuatan terpecah ini. Saya katakan terpecah karena kaum berpendidikan menganggap preman sebagai primitif dan, sebaliknya,
preman menganggap kaum berpendidikan congkak.

*Ditulis pada 13 November 2002

Kata Pengantar Untuk Surat Dari Swedia

Mejuah-juah teman kerina,

Baru saja saya hendak berangkat ke Oestgeest untuk mengkoordinir sebuah seminar mengenai Peristiwa Madiun. Kemarin malam saya selesai mengedit beberapa makalah untuk menjadi sebuah buku. Ada mengenai Islam sekuler (madani) dan Islam religius (rohaniah), Papua Merdeka, perubahan konsep ketuhanan pada orang Dayak Ngaju dan lain-lain. Semuanya berasal dari seminar rutin yang saya koordinir di Oestgeest (Dialog Antar Generasi). Hari ini akan berbicara Bung Soemarsono dari Australia tentang Misteri Peristiwa Madiun serta Sumpah Sehidup Semati antara Simbolon dan Djamin Ginting yang akhirnya dikhianati oleh Djamin Ginting karena dia memilih setia pada Negara Kesatuan.

Dalam kaitannya dengan kegiatan inilah saya tidak bisa untuk tidak langsung mengirim Surat Lanjutan dari Swedia ini kepada saudara-saudari. M.U. Ginting menggugah kita untuk melihat hal-hal kontradiktif (kutub berlawanan) dalam kehidupan manusia yang, menurut dia, perlu ditekuni secara dialektik. Dialektik adalah arus gelombang yang mempertemukan dua kutub berbeda dalam bentuk perjalanan waktu (sejarah). Menurut penganut dialektika, kutub-kutub berlawanan tidak bisa dipertemukan dalam waktu yang sama karena bisa berakibat pertikaian (konflik). Misalnya antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. M.U. Ginting menyarankannya untuk memperhitungkan keduanya tapi melalui perjalanan waktu yang mengarah ke depan. Karo sudah lama diam, dan sudah terlalu lama. Sekarang saatnya berkokok. Bukan berarti berkokok selalu lebih bagus dari pada diam. Tidak. Ada waktunya diam itu lebih baik dari ngomong. Ada pula waktunya suara nyaring lebih baik dari pada diam. Sekarang waktunya untuk bergaung!

Tiba-tiba saya teringat akan surat Kristina Milala yang menyarankan agar kita menulis sebuah sejarah mengenai Karo di Eropah. Saya belum sempat mengirimkan surat ini kepada kam karena kesibukan mengurus seminar yang saya sebut di atas. Tapi kedatangan surat dari Swedia membuat saya tidak bisa segera berangkat ke seminar itu sekarang. Saya ingin menerbitkan sebuah buku yang berisikan semua diskusi email kita mengenai organisasi Karo se-Eropah dan mengenai Karo secara umum. Tulisan Ginting pasti sangat menarik untuk dibaca dan merangsang perdebatan yang unik tidak hanya bagi kalangan Karo, tapi juga para ilmuwan sosial dan politik.

Organisasi, aksi, organisasi, aksi adalah proses dialektik yang disarankan oleh Ginting. Diskusi, terbit buku dari diskusi, debat, muncul buku debat, dst. dst. Untuk ini saya mengundang saudara-saudari untuk menulis dalam bahasa Karo maupun Indonesia agar diterbitkan dalam sebuah buku. Surat dari Swedia dan Surat Lanjutan dari Swedia serta surat-surat lainnya yang berjalan melalui email selama ini bisa kita jadikan landasan untuk penulisan lebih lanjut. Soal perbaikan bahasa serahkan saja pada saya. Jangan takut.

Seburuk apapun bahasa kam dapat saya perbaiki.

Saya hantarkan Surat Lanjutan dari Swedia untuk memancing perdebatan yang lebih sengit. Perdebatan tidak akan menghasilkan pertikaian bila disambut dengan aksi penerbitan buku. Itulah dinamika diskusi dan aksi yang menurut M.U. Ginting sebaiknya berjalan mengikuti laju dialektika.

Mejuah-juah,

Juara Ginting
*ditulis 28 Oktober 2002