Monday, November 06, 2006

Yayasan Pendidikan Kristen Alpha Omega, Kaban Jahe

Dari Ruth br Sitepu Hingga Arahannya Ke Depan

Oleh : Ita Apulina Tarigan

“... Saya ingin bertemu Tuhan Yesus, Saya ingin melihat wajahNya, Saya lelah berjalan, dalam dunia yang fana, Saya ingin bertemu denganNya ...”

Suatu hari Minggu, di GBKP Simpang Tuntungan, Pancur Batu. Sebelum khotbah, sang pengkhotbah mempersilahkan sekelompok penyanyi melantunkan lagu pujian. Seorang pria dan wanita serta 5 anak cacat mental dari Sekolah Alpha Omega Kaban Jahe ikut berdiri dengan sigap di depan. Si pria memetik gitar dan mereka mulai bernyanyi. Melantunkan syair di atas tadi. Beberapa jemaat mengusap air mata.

Seminggu kemudian kami mengunjungi Sekolah Alpha Omega. Di sambut pria pemetik gitar, yang ternyata adalah direktur sekolah itu, Pdt Obed Ginting, Sth. Di ruang tamu merangkap kantor, percakapan antara direktur ini dengan kami berlangsung akrab dan penuh kekeluargaan. Setelah berkenalan, Pendeta kita yang ramah inipun mulai menerangkan sejarah berdirinya Yayasan Pendidikan Kristen Alpha Omega, Kaban Jahe.

Ruth br Sitepu

GBKP memulai sekolah ini oleh adanya masalah yang dihadapi seorang pendetanya, Alm. Pdt. Salomo Sitepu. Pada Sidang Sinode GBKP 1985, Pendeta Sitepu terpilih sebagai Sekbid 3 Bidang Pelayanan. Hal ini membuat beliau harus berdomisili di Kaban Jahe. Kepindahannya ke Kaban Jahe terkendala karena putrinya Ruth menderita cacat mental dan di Kaban Jahe belum ada sekolah khusus untuk penderita cacat mental.

Pendeta Sitepu tidak malu-malu menceritakan kepada rekan sejawat termasuk Ketua Moderamen saat itu tentang keadaan putrinya. Tidak sia-sia, akhirnya beberapa teman sejawat menyarankan agar Ruth dibawa ke Panti Karya Effata milik HKBP di Laguboti, sebuah Diakoni Karitas yang khusus melayani orang cacat.

Sesampainya di sana, Pendeta Sitepu menemukan banyak anak-anak Karo yang bersekolah di panti itu. Pendeta juga bertemu dengan orangtua mereka. Sebagai sesama orang yang menderita akhirnya mereka bercerita satu sama lain. Dari percakapan itu keluar sebuah ide yang akhirnya menggerakkan Pendeta Sitepu agar GBKP mengadakan panti untuk orang cacat. Kala itu salah atu orangtua anak yang cacat berkata: “GBKP gia mé banci nge banna bagénda, Pandita? Mé la kita ndauh naring ku Laguboti énda?”. Ternyata keterbatasan kita berpikir tentang kesusahan atau kebutuhan kita, menutup pikiran kita terhadap penderitaan orang lain. Dari kesusahan kita ternyata banyak orang yang turut serta ditolong, urai Pendeta Obed Ginting.

Tahun 1987, utusan NHK Belanda Pastor Jacob Sloop berkunjung ke Moderamen GBKP. Dalam percakapan dengan pastor tersebut, Ketua Moderamen saat itu Pdt A Ginting Suka menyampaikan keadaan Ruth br Sitepu tentang kemungkinan mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah. Pastor Sloop ternyata menanggapi lebih dari yang diharapkan.

“Barangkali di Tanah Karo bukan hanya Ruth. Saya harap GBKP bisa mendata berapa orang yang menderita. Jika nanti sudah didapat data orang-orang yang cacat, saya akan bantu mencarikan dana untuk membangun sekolah dan sarananya,” kata Pastor Sloop saat itu.

Hanya satu syarat yang diajukan Pastor Sloop, jemaat mau bertanggungjawab terhadap operasional sekolah. Ketika jemaat GBKP Gereja Kota Kaban Jahe mengaku akan bertanggung jawab, pendataan langsung dilakukan dan sekolah segera berdiri. Tahun pertama sekolah berdiri, semua orang Karo yang ada di Laguboti pindah ke Alpha Omega, sekitar 6 siswa.

Alpha Omega Sekarang

Saat ini, Alpha Omega bertujuan memberikan kesejahteraan bagi penyandang cacat dengan dua cara, yaitu mengubah pola pikir masyarakat yang masih negatif terhadap penyandang cacat mental dan yang kedua adalah merehabilitasi penyandang cacat.

Untuk yang pertama, dilakukan kunjungan ke orangtua, penjemataan, mengubah pola pikir keluarga bahwa anak cacat adalah juga karunia Tuhan yang patut kita syukuri, kelas Pendeta Ginting. Saat ini, pola pikir masyarakat sudah mulai berubah. Semakin banyak anak cacat yang diantar ke sini untuk bersekolah. Cuma, akhirnya ada masalah, ketika keluarga mengantarkan orang cacat ke Alpha Omega sudah bukan anak-anak lagi, sambung Ginting. Kadang sudah berumur 35 tahun atau 40 tahun. Hal ini terjadi ketika orangtuanya sudah meninggal dan dia sudah tidak punya tempat lagi. Sampai saat ini Alpha Omega masih bergumul untuk kasus yang serupa ini, demikian ungkap Pendeta Obed Ginting.

Agak rumit dengan mental masyarakat karena mereka mengganggap anak cacat adalah aib. Di awal sekolah berdiri, para guru dan pengasuh Alpha Omega ku kuta-kuta mencari anak-anak cacat. Orangtua mereka malu membawa anaknya, sehingga guru dan pengasuh memberi pengertian bahwa anak yang cacat juga harus diperlakukan seperti anak normal. Mereka butuh pendidikan dan sosialisasi. Banyak diantaranya tidak mengijinkan anaknya sekolah karena orangtua tidak memiliki uang. Biasanya para guru dan pengasuh memberikan pengertian dengan mengatakan ija pagi lit sénndu jé pagi embahken, tambah pendeta Obed.

Pendanaan

Bukan berarti Alpha Omega berlebih dalam dana. Justru Alpha Omega saat ini masih terus mengharapkan dukungan dan sumbangan dari orang-orang mampu. Banyak cara orang selama ini menyumbang. “Misalna entah erkerja ia, entah ernatal perpulungen, biasana lit tambahkan sekian guni beras man anak-anak Alpha Omega, é maka asum Natal banci berpuluh guni beras si seh i jénda,’ kata Pendeta Obed. Ada juga sumbangan dari jemaat, meski sifatnya masih insidental.

Alpha Omega sudah mulai berhubungan dengan pemerintah agar sebagian dana sosial pemerintah dapat diberikan kepada Alpha Omega. Beberapa perusahaan sudah memberikan juga dana sosialnya kepada Alpha Omega.

Selama ini, kita kesulitan mendapat sumbangan dari jemaat sendiri karena mereka belum memahami sesungguhnya Alpha Omega adalah panti, walaupun bentuknya seperti sekolah. Tidak jarang mereka berkomentar: “Gelarna pé sekolah, mé patut nge nggalar uang sekolah?” Sementara, mayoritas anak-anak ini orangtuanya mesera, ujar pendeta Obed.

Arahan Ke Depan

Mengenai rencana ke depannya, Pdt Obed Ginting menjelaskan: “Arahan kita memaksimalkan anak-anak agar bisa mandiri. Rikutken keadaan Taneh Karo, maka itukur taneh i Lingga sekitar 6 ha. Éndam ipaké sebagé lahan pertanian ras peternakan. Terakhir énda enggo rukur aku entah erbahan pupuk kompos, yaitu bokashi,” jelas Pendeta Obed. Soalnya, kalau pertukangan masih banyak bahaya. Pembuatan pupuk kompos agaknya jauh dari bahaya dan pembuatannya tidak rumit. Saya sedang menyiapkan proposal kepada Departemen Pertanian. Kebetulan mereka punya program pendanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan itu saya harapkan kita punya tambahan modal untuk memulai usaha ini.”

Bila kita berkunjung ke perjuman Alpha Omega, kita akan melewati perladangan penduduk dan di ujung jalan, sebuah gerbang dan rumah penjaga sudah menanti. Kiri kanan sudah dipenuhi pohon jeruk yang sudah berbuah. Di sisi lain, perladangan jagung yang diantaranya ditanami cabai dan kopi. Ada ternak babi, lembu dan ayam. Sekitar 8 anak cacat ikut turut serta dalam pengelolaan kebun ini. Mereka bekerja sesuai dengan kemampuannya masing-masing atas bimbingan pengasuh.

Anak-anak itu sangat gembira ketika menyambut kami yang berkunjung ke lahan pertanian mereka. Jabat tangan ramah dan wajah polos dihiasi senyuman membuat dada terasa sesak oleh haru. Masih terngiang di telinga ketika anak-anak itu bertanya, ndigan ka kéna reh?

Kepada saudara-saudara yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Alpha Omega dapat dihubungi di ykpc@gbkp.or.id dan kepada yang ingin menyumbang dapat mengirim ke Rekening Alpha Omega, BNI Cab Kabanjahe No. Rekening 61574463.

*kunjungan kesana disertai dengan Nathanail, Sadariah br Ginting dan si manis Irene
Suatu Hari Cukera Dudu di Lau Debuk-debuk
Oleh : Ita Apulina Tarigan*
Mata air panas Lau Debuk-debuk di Desa Daulu (Kab. Karo) cukup dikenal oleh orang-orang Karo sebagai sebuah daerah wisata yang unik. Di sana ada beberapa mata air panas yang mengalirkan air bercampur belerang ke sebuah kolam atau tepatnya danau kecil. Orang-orang bisa mandi air panas di sana.
Sebagian besar orang Karo pernah mendengar Lau Debuk-debuk sebagai tempat keramat. Konon, di sana menetap kedua putri Guru Penawar yang mati terserang cacar (remé). Sebagian orang menyebut mereka Beru Karo Sada Nioga, sebagian lain menyebutnya Tandang Riah Tandang Suasa. Meskipun ayah mereka (Guru Penawar) memiliki serbuk (pupuk) yang dapat menghidupkan kembali orang mati, Beru Kertah Ernala (Keramat Gunung Sibayak) keburu mencuri tulang-belulang mereka sebelum Guru Penawar tiba dari Taneh Alas. Begitulah awalnya, menurut cerita itu, Lau Debuk-debuk menjadi tempat pemandian kedua putri Guru Penawar yang, sebenarnya, bermerga Perangin-angin Kacinambun.
Namun, agaknya tak begitu banyak yang tahu bahwa setiap hari Cukera Dudu (disebut juga Cukera Ku Lau) selalu ada yang mengadakan upacara erpangir di Lau Debuk-debuk. Cukera Dudu adalah nama hari ke-13 setiap bulannya dalam kalender Karo yang sebulannya terdiri dari 30 hari.
Cukera Dudu Desember 2005
Untuk Desember 2005, Cukera Dudu jatuh pada hari Rabu tanggal 14. Mengunjungi Lau Debuk-debuk pada 14 Desember 2005 yl. ternyata memberi kesan berbeda terhadap Lau Debuk-debuk yang kita kenal di hari Minggu, saat banyak wisatawan dari Medan mandi di sana. Tak ada wisatawan kecuali beberapa keluarga yang sengaja datang ke sana untuk melakasanakan upacara erpangir ku lau.
Ada 4 mata air panas di luar kolam utama: 1. Telaga Beru Karo Sada Nioga, 2. Telaga Beru Sembiring, 3. Telaga Panglima dan 4. Telaga Guru Penawar. Setiap mata air sudah dipugar atas swadaya dari pengunjung yang merasa mendapat berkah dari Nini keramat mata air tersebut. Keluarga yang hendak erpangir terlebih dahulu mengadakan ercibal dan erlebuh di salah satu mata air ini.
Orang-orang yang erpangir biasanya datang dalam rombongan yang terdiri dari anggota keluarga. Ada yang datang karena memang disarankan oleh guru (dukun Karo) atau datang erpangir karena kebutuhan rutin dirinya sendiri. Para guru perjinujung, misalnya, paling tidak setahun sekali harus mengadakan erpangir ku lau.
Kelompok yang datang ke sana berasal dari mana saja. Pada Rabu 14 Desember 2005 itu, ada yang datang dari Binjai, Bahorok dan Karo Gugung. Tak jarang mereka berangkat jam 2 pagi dari kampung agar bisa tiba pagi-pagi sekali. Bahkan sehari sebelum Cukera Dudu tiba, mereka sudah sibuk mempersiapkan sesajen, memasak bekal dan membeli kebutuhan erpangir.
Urutan Acara
Sebelum erpangir dimulai, biasanya di pinggir telaga disusun berbagai macam sesajen. Bermacam penganan ada di sini, seperti pisang, cimpa, jeruk, buah pir, apel dan banyak lagi disajikan dengan rapi dan biasanya dialasi dengan tikar atau uis dagangen. Ada dua hal yang tidak pernah ketinggalan, yaitu daun sirih dan rokok yang dijepit di ranting kayu yang dipacakkan.
Maka mulailah dipanggil (erlebuh) Nini yang ingin ditemui. Seperti yang dilakukan oleh rombongan orangtua Novita Sari br Sebayang, penyanyi cantik yang namanya mengorbit akhir-akhir ini di blantika musik pop Karo. Keluarga Sebayang ini tidak pernah melewatkan Cukera Dudu untuk erpangir di Lau Debuk-debuk. ”Seingatku, sejak kecil kami sudah dibawa ke sini,” ungkap Novita dengan polosnya.

Guru yang memanggil Nini biasanya dibawa oleh keluarga yang erpangir. Kebetulan Novita tidak perlu memanggil guru, karena ibunya sendiri TL beru Surbakti adalah guru. Ibu Novita adalah ketua Sada Perarih, Perkumpulan Guru Perjinujung Deleng Sibayak di Medan. Perkumpulan ini tampaknya mirip dengan Arisan Perjenujung Simpang Kuala Medan yang menjadi terkenal di dunia antropologi karena Prof. Dr. Mary Steedly dari Universitas Harvard membahasnya secara serius dalam bukunya yang berjudul Hanging Without A Rope.
Nini menghibur yang berkeluh kesah dan memberikan ramuan obat. Kadang Nini menjernihkan yang berselisih. Kebijaksanaan ini disampaikannya dengan bersenandung. Terkadang melalui dialog. Kita temukan beberapa hal yang lucu tetapi akrab atau kadang terlontar kata yang tidak dimengerti maknanya. Seperti ketika Nini meramal masa depan perekonomian seorang gadis. ”Sabar-sabar nakku, gundari lenga kin lit sénndu, cukup man ras ongkos saja. Pepagin mbué nge rehna. Ban buéna, dahkam, man embahenken pagi ku rumah galang,” ujar Nini melalui guru. Si gadis terbingung. Orang-orang di sekitarnya menjelaskan bahwa rumah galang berarti bank. Wah.......
Di semua kelompok yang melakukan ritual terdapat suasana seperti itu. Terkadang Nini mengajak menari atau meminta yang bertanya padanya untuk bernyanyi. Acara cengkerama ini berlangsung cukup lama.
Acara akan diakhiri dengan erpangir. Nini mangiri seluruh anggota keluarga dengan ramuan yang sebelumnya sudah didoakannya. Semerbak wangi bunga dan jeruk memenuhi udara mengalahkan aroma belerang. Siraman pangir di kepala disambut dengan tawa gembira. Setelah itu biasanya para keluarga pamit pada Nini. Guru mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mata terpejam, sambil kakinya terus menari mengikuti irama musik kulcapi atau belobat yang diputar lewat tape recorder. Sampai guru akhirnya kembali normal dan Nini meninggalkan tubuhnya.
Makan Siang
Erpangir biasanya selesai menjelang siang. Setiap keluarga membawa bekal bermacam-macam lauk. Setelah erpangir mereka mandi di kolam Lau Debuk-debuk dan sesekali naik ke darat untuk makan. Demikian juga halnya guru Beru Surbakti yang memanggil Nini. Mengganti pakaian dengan basahan, kemudian melepas seluruh perhiasan emas berlian yang ada di sekujur tubuhnya.
”Mengapa begitu banyak perhiasan dipakai?” tanyaku. ”Adi la ermaga-maga, la ban mejilé, jungut-jungut Nini ah, la kari ia nggit reh,” ungkapnya seraya bersiap turun mandi ke kolam .
*ditulis 20 Desember 2005

Ronggeng Nambiki Terkenal di Seantero Karo

Oleh : Ita Apulina Tarigan*

Orang-orang Karo dari generasi tahun 50-an hingga 70-an umumnya pernah mendengar nama Ronggeng Nambiki. Sebagian mengerti apa yang dimaksud dengan Nambiki, tapi sebagian lainnya kurang memahami apa itu Nambiki.

Ronggeng adalah bentuk tarian dimana lelaki dan perempuan menari berhadapan secara lebih ‘bebas’. Ronggeng di Sumatera Timur pada mulanya dihidupkan oleh pengusaha-pengusaha kebun asing di masa kolonial, yang bertujuan agar buruh menghabiskan upah yang mereka dapat sehingga mereka terpaksa bekerja terus di sana. Makanya penampilan ronggeng biasanya diadakan pada masa gajian.

Acara ronggeng diadakan dengan mengundang satu kelompok ronggeng, terdiri dari beberapa gadis penari, satu atau dua penyanyi wanita dan beberapa pemain musik. Publik yang umumnya laki-laki dapat menari ke pentas bersama gadis penari setelah membayar ke panitia.

Tidak heran kalau pada masa kolonial banyak kelompok ronggeng di Sumatera Timur, begitu juga halnya di Langkat. Tapi, penduduk Nambiki lah yang membawa ronggeng ke satu arah yang sangat lain dari asalmuasalnya. Semua personilnya adalah penduduk setempat, orang Karo tentunya.

Meski Jaman Belanda usai, Ronggeng Nambiki terus berkembang. Hingga tahun 70-an, Ronggeng Nambiki masih laku keras tidak hanya di Karo Jahe tapi juga di Karo Gugung. Kampung-kampung besar di Karo Gugung seperti halnya Berastepu, Batu Karang, Juhar dan Tiga Binanga menampilkan ronggeng pada acara kerja tahun sebelum Guro-guro Aron.

Makanya, kata ronggeng dan Nambiki melekat satu sama lain. Bagi banyak orang Karo, kata ronggeng terasa tak lengkap tanpa menyebut Nambiki, dan, kalau ada yang menyebut Nambiki, langsung terbayang ronggengnya.


Kampung Nambiki

Nambiki dapat dicapai dengan kendaraan pribadi sekitar 45 menit dari Binjai, melalui jalan besar ke arah Bukit Lawang. Ada kemiripan nasib dengan Lau Cih, suasana kampung yang sederhana saat ini membuat orang tidak mengira kalau dulunya kampung Nambiki adalah pusat pemerintahan dengan gelar balai, Balai Nambiki disebut waktu itu. Hanya ada dua pusat pemerintah di Langkat yang bergelar balai. Satu lainnya adalah .... Kedua balai langsung berada di bawah Sultan Langkat, tanpa kelang-kelang.

Menurut penuturan Husin Sitepu (64 tahun), seorang keturunan Pengulu Balai Nambiki yang ke-10, kala itu Balai Nambiki membawahi 44 dusun yang sebagian besar terletak di sepanjang Sungai Bingei. Rumah Balai yang terletak di pinggir jalan utama kampung menjadi saksi sejarah kampung Nambiki. “Dulunya rumah ini adalah tempat rembuk para pengulu dusun. Termasuk perkara kriminal sering diputuskan di sini,” tutur Husni. Kakek pensiunan pegawai penjara ini juga menambahkan, dulunya Rumah Balai dilengkapi penjara sementara.

Di pekarangan Rumah Balai, terdapat sebuah geritan semen yang baru saja dibangun menggantikan geritan lama terbut dari kayu dan ijuk. “Itu adalah geriten Pengulu Balai yang pertama. Radja Djenda Malem Sitepu Sukanalu Teran. Dulunya memang geritannya masih asli seperti geritan Karo umumnya. Itu baru saja kami renovasi, ’ jelas Sinik Sitepu, yang merupakan adik Husni.

Mengitari kampung Nambiki adalah juga merupakan keayikan tersendiri. Beberapa rumah panggung bergaya Melayu-Karo masih dapat dijumpai selain Rumah Balai. Diantaranya adalah rumah bekas pengulu Nambiki dan juga rumah kakek Menhut MS Kaban.


Di mana Ronggengnya?

Ternyata, dari penuturan beberapa penduduk dan juga para mantan pemusik dan pemainnya, kesenian ronggeng telah lama mati di Nambiki.

“Tidak ada lagi yang mau belajar. Menjadi pemain dan penyanyi ronggeng butuh minat dan kemampuan, tidak bisa sembarangan,” ujar Tepat Kaban (58 tahun), mantan pemusik ronggeng. Menurut Tepat, menjadi pemusik ronggeng tidak mudah. “Alat musiknya adalah gendang dan biola. Penyanyinya harus bisa berpantun,” tambah Tepat. Bahkan, menurutnya, harus bisa bermain sandiwara walaupun tanpa skenario.

Kisah Non br Sinuraya seakan mengamini pernyataan Tepat Kaban. Mantan penyanyi ronggeng yang masih cantik di usianya yang ke-85 ini mengatakan, dia sudah beberapa kali mengajari orang yang datang padanya. “Aku pé la kueteh uga maka la lit si jadi. Enggom kuajari asa beluhku. Adi gundari lanai kueteh, enggo bené kerina,’ tuturnya ketika aku bertanya mengapa tidak mewariskan keahliannya itu.

Non br Sinuraya adalah saksi kejayaan ronggeng. Penyanyi ini bernyanyi sejak usia 12 tahun dan berhenti di usianya ke-25 setelah menikah. “Kerina Taneh Karo enggo kusiar, seh pe aku ku Acih (Aceh-red). Adi Medan-Binjai lanai bo terkataken. Pasar malam Jaman Belanda marénda pé la pernah aku ketadingen,” ceritanya dengan mata berbinar bangga.

* * *

Langit semakin gelap, Nonpun melipat tangan di dada seolah kedinginan. Perlahan mobil kami beringsut meninggalkan Nambiki meninggalkan bayangan Rumah Balai dan menyusuri jalanan yang kiri kanannya dipenuhi tanaman coklat. Sayup di belakang, seolah terdengar kembali lagu ciptaan Tepat Kaban yang dinyanyikannya khusus untuk kami : “... Kuta Nambiki erpulo-puloken durinna simbelang, jahé ras julu ertapinken Lau Bingé simalem......

*Ditulis pada 24 November 2005

Lau Cih (Sungai Siput):

Kampung Tradisional Karo Di Ketiak Medan Metropolitan

Oleh Ita Apulina*

Pada mulanya Medan adalah sebuah kampung kecil yang konon didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi. Dalam laporan perjalanan John Anderson ke Sumatra Timur di tahun 1823, dia menggambarkan Meidan sebagai sebuah kampung yang berada di luar wilayah Deli (lihat John Anderson: Mission to the East Coast of Sumatra in 1823 [terbitan 1971]). Saat itu Deli hanyalah sebuah wilayah kecil di sekitar Labuhan Deli.

Pada tahun 1862, pedagang tembakau Belanda Jakobus Nieuwenhuis mulai mengembangkan perkebunan tembakau di Labuhan Deli yang kemudian berkembang ke wilayah-wilayah lain di luar Deli “kecil” itu. Perkembangan ini terutama sekali oleh bergabungnya beberapa perusahaan internasional lainnya dari Eropah dan Amerika untuk mengembangkan perkebunan tembakau di “Deli”.

Deli Maschapij mewakili perkebunan-perkebunan asing untuk bernegoisasi dengan raja-raja setempat khususnya dalam sewa-menyewa tanah untuk perkebunan. Deli Maschapij menganggap Sultan Deli sebagai pemimpin pribumi tertinggi di wilayah itu atas pengakuan Sultan Deli sendiri. Nantinya, pemerintah kolonial mendefenisikan Deli sebagai suatu wilayah kesultanan yang meliputi 4 wilayah kejuruan Melayu (Denai, Percut, Deli dan Sepulu Dua Kuta Hamparan Perak) dan 4 wilayah urung Karo (Senembah, Suka Piring, Sepulu Dua Kuta Lau Cih dan Sabernaman).

Tentu saja Deli Maschapij terperanjat ketika orang-orang Karo mengamuk membakar bangsal-bangsal tembakau sebagai protes karena hanya Sultan Deli yang menerima sewa tanah. Sedangkan mereka menganggap Sultan Deli tak punya urusan apa-apa di tanah-tanah orang Karo itu. Perlawanan orang Karo terhadap perkebunan asing ini dipimpin oleh Datuk Sunggal bermarga Surbakti dari Urung Sabernaman Sunggal.

Sunggal sebagai kampung Karo di wilayah kotamadya Medan sekarang ini telah cukup banyak diketahui oleh orang-orang Karo, terutama oleh tulisan T. Lukman Sinar, SH di majalah Prisma beberapa tahun silam serta tulisan-tulisannya yang lain tentang perjuangan Datuk Sunggal melawan penjajah.

Lain halnya dengan Lau Cih yang menjadi ibukota Urung Sepulu Dua Kuta Lau Cih, tak begitu banyak dikenal. Ke arah laut, Urung “12 Kuta Lau Cih” berbatasan dengan “12 Kuta Hamparan Perak” di Sungai Sikambing. Ke arah gunung, dia berbatasan dengan “12 Kuta Kabanjahe” di Lau Petani, dekat Penatapen Perbinaga Jong Daulu (jalan Medan-Berastagi), yang nantinya menjadi perbatasan antara Kabupaten Deli-Serdang dan Kabupaten Karo.

Latar belakang sejarah itu membawa kami tertarik mejeguk sebentar keadaan Lau Cih sekarang ini.

Jalan Ke Lau Cih

Hujan semalaman bersambung hingga pagi. Tidak begitu deras tapi butirannya cukup besar. Dijamin tak sampai 3 menit bakal basah kuyup. Setelah menunggu 30 menit dari jam 9 pagi, hujan agak reda akupun berangkat menuju Lau Cih, yang katanya pernah menjadi ibu kota Urung Sepulu Dua Kuta.

Angkot yang kutumpangi kuminta berhenti di sebuah papan nama bertuliskan ‘GBKP Lau Cih’. Sehari sebelumnya aku bertanya pada beberapa supir angkot, untuk memastikan lokasi Kuta Lau Cih. Jalan berbatu-batu kususuri dengan beragam rumah gedong di kiri kanan jalan. Sedikitpun tidak kutemui tanda-tanda bahwa ‘Lau Cih’ ini adalah sebuah ‘kuta’.

Penasaran, aku bertanya kepada seorang bapak tua. “Apakah Kuta Lau Cih masih jauh?” tanyaku. “Ku ja kin atendu? Ise kin daramenndu?” responnya. “Kuta Lau Cih si lit ijé geriten Sibayak Lau Cih” kataku. “Salah kam é, nakku, énda Lau Cih simbaru. Arah énda pé banci tuhu, tapi méluk-éluk dalanna, la kari tehndu. Madin kam ku Simpang Gardu, melala jah beca,” katanya menerangkan. “Erkai kin atendu ku jah?” tanyanya lagi. “Nungkun-nungkun saja nge, Pa.Uga nge turi-turinna Kuta Lau Cih énda, atéku,” jelasku.

Akhirnya kami menumpangi angkot yang sama. Aku turun terlebih dahulu. Sebelum berpisah, dia sempat berpesan. “Daramindu kari i jah gelarna Bapa Serianna Purba. Ia tehna kerina kerna Lau Cih énda,” katanya. “Bujur, Pa,” kataku sambil berlalu.

Menumpang becak aku menuju Kuta Lau Cih. Menyusuri jalan becek dan lengket. Sesekali menahan nafas, ketika ban motor lengket dan tidak berputar. Terlebih ketika melewati jembatan papan di atas sungai kecil (yang kemudian kuketahui bernama sungai ‘Lau Cih’ atau Sungai Siput). Rasanya jembatan itu pas sekali dengan badan becak. Kami melewati sebuah beko yang disaput tanah merah di tengah lapangan yang luas. Menurut abang becak, lapangan itu akan dijadikan perumahan mewah.

Becak melaju. Bertemu pertigaan, kami belok ke kiri persis di bawah pohon rambe. Aku berhenti di sebuah warung kecil dan menanyakan alamat Bp. Serianna Purba. “Dia tidak di rumah, dia ada di tempat anaknya. Kam sudah lewati tadi,” katanya. Akhirnya aku berbalik arah menyusuri jalan tadi dan berhenti di sebuah tempat bermain billiard.

“Mejuah-juah,” salamku kepada seorang anak perana yang berdiri di pintu. “Mejuah-juah. Ise daramenndu?” balasnya. “Bulang Bapa Serianna ndai ateku, Turang.” “Oh.. sebelah éna ia,” sembari tangannya menunjuk sebuah pintu yang terbuka. “Bujur,” jawabku lagi.

Aku berdiri di depan pintu. Di hadapanku duduk bersila seorang kakek berkacamata dengan rokok di tangan. Seorang nenek datang bertanya: “Kai ndai?” ‘Bulang Bapa Serianna ndai ateku, Ni,” jawabku. “Enda jelmana. Mari kurumahken,” sambutnya. “Kai kin ndai atendu?” tanya Bulang itu ramah.

Setelah perkenalan singkat, ternyata beliau adalah ‘Sibayak Lau Cih’ turunan ke-3. Di usianya yang ke-79, kesan segar dan semangat masih terpancar dari matanya. Rupanya usia tidak mengalahkan semangatnya. Bintang Purba Rumah Selat, demikian dia memperkenalkan dirinya, sambil melinting tembakau di kertas rokok, pensiunan pegawai negeri. Tak lupa dia memperkenalkan istrinya, dipanggil ’Ribu’, beru Perangin-angin Kutabuluh, keturunan Sibayak Kuta Buluh.

Kemudian, ’Sibayak’ ini bertanya, apa yang saya cari di Lau Cih. “Uga nge sejarah Lau Cih enda?” balasku bertanya. Renyah dia tertawa.

Sibayak Lau Cih Bertutur

Awalnya terjadi perang saudara di Kabanjahe antara pihak Pa Mbelgah dan pihak Pa Pelita. Ketika itu suasana semakin memanas, sehingga Radja Djenggi Purba, salah seorang dari pihak Pa Pelita memilih untuk pindah ke Lau Cih dan tinggal di sana. Nama Lau Cih ini berasal dari sebuah nama sungai kecil yang kita lewati jika menuju kampung Lau Cih. Konon di sungai itu dulunya banyak cih (siput) walau kini nyaris tidak ada lagi siput di situ. (“Barangkali karena banyaknya pemakaian racun hama,” kata Ribu menyeling penuturan suaminya)

Kepindahan Radja Djenggi Purba ke daerah di dekat Medan ini bukan tanpa alasan. Dekat ke Medan berarti dekat dengan Belanda. Kedekatan ini dimanfaatkan oleh Sibayak Lau Cih agar Belanda mau membantu pihak Pa Pelita dalam perang saudara di Kabanjahe. Kalau sekarang, Ni Bulang saya mungkin akan dapat julukan pengkhianat. Karena dia yang membawa Kumpeni ke Tanah Karo. Karenanya jugalah ada pasar hitam (jalan aspal-red) dari Medan hingga Kabanjahe. Hal ini dilakukannya karena membantu Pa Pelita.

Bukan hanya pihak Pa Pelita yang diuntungkan oleh Belanda, pada dasarnya Belanda juga membutuhkan akses ke Tanah Karo. Sehingga ketika Belanda sudah mulai berkuku di Tanah Karo beberapa kerabat dari Radja Djenggi Purba diangkat menjadi pejabat penting yang turut menentukan kebijaksanaan pemerintahan di Tanah Karo.

Salah satunya adalah Ngasup Purba, yang kemudian diangkat menjadi Jaksa di Tanah Karo. Sebagai jaksa, Ngasup Purba diberi wewenang untuk menentukan siapa yang menjadi Sibayak di Tanah Karo. Selain Raja Berempat (Sibayak Lingga, Sibayak Barusjahe, Sibayak Suka dan Sibayak Sarinembah), kemudian hari Ngasup Purba mengangkat seorang Sibayak lagi yaitu kalimbubunya sendiri, yang kemudian dikenal sebagai Sibayak Kuta Buluh.

Demikian juga halnya dengan Radja Djenggi Purba. Kedekatannya dengan Belanda membawa kemajuan kepada dirinya dan Kuta Lau Cih. Kala itu Lau Cih dikelilingi perkebunan tembakau. Sibayak Lau Cih juga mendapat bagian dari perkebunan itu, sehingga anak kuta Lau Cih banyak yang ’erjuma’ di taneh jaluren kebun tembakau. Sibayak Lau Cih juga bertanggungjawab atas keamanan kebun. Selain dekat dengan Belanda, Sibayak Lau Cih juga dekat dengan beberapa Sultan Melayu, antara lain Sultan Serdang, Langkat, Deli dan Siak. Selain itu, Sibayak Lau Cih juga erkalimbubu ke Sultan Hamparen Perak.

Salah satu yang jelas saya ingat, soal kedekatan Ni Bulang dengan Sultan Siak adalah soal pedang. Ketika itu ada pedang yang bersarung; pedangnya tinggal di Lau Cih dan sarungnya pada Sultan Siak. Cuma saya tidak tahu di mana sekarang pedang itu berada. Saya juga ingat cara duduk Ni Bulang. Dia tidak bisa duduk bersila, duduknya seperti orang hendak sembahyang (sholat- red). Seperti orang-orang Melayu itu.

Ketika itu Lau Cih adalah kampung yang hidup perekonomiannya. Sebagai salah satu jalur utama kereta api jurusan Pancur Batu-Medan, maka setiap kereta yang lewat diwajibkan untuk berhenti di Lau Cih. Persis seperti stasiun pembantu sekarang. Penumpang kereta api dapat naik turun di sini. Seperti lazimnya di perkebunan, judi juga marak di sekitar Lau Cih. Dulunya juga ada sebuah sekolah Belanda di Lau Cih, seiring dengan waktu sekolah itu runtuh dan sekarang sudah dijadikan ladang.

Sibayak Lau Cih terkenal murah hati. Menjelang Idul Fitri, banyak orang dari Gugung menjual lembu dan kerbau ke Medan dan mereka melewati Lau Cih, karena Lau Cih adalah jalur utama menuju Medan. Terkadang para penjual lembu beristirahat di sini. Terkadang juga ikut berjudi. Malahan ada yang sampai habis-habisan hingga tidak punya uang lagi. Kalau sudah begitu, mereka datang ke rumah Ni Bulang dan minta makan di situ.

Ni Bulang selalu terbuka untuk tamu-tamunya sehingga orang tidak segan minta tolong. Tidak hanya itu, kadang karena terlalu asyik bermain judi para pedagang tidak sadar kalau lembu atau kerbaunya sudah nggagat tanaman orang lain dan juga tanaman kebun. Agar sang pemilik tidak marah, biasanya Sibayak Lau Cih mengatakan kalau lembu atau kerbau itu adalah miliknya. Karena segan, tentu saja orang-orang itu tidak jadi marah. Ah... mungkin itu sebabnya Sibayak Lau Cih tidak ikut igeleh di jaman revolusi dulu.

Dikaruniai dengan 7 orang anak, 6 diantaranya laki-laki, seperti layaknya Sibayak yang lain, akhirnya Sibayak Lau Cih turun kepada putranya yang pertama, yaitu Penandan Purba yang dikenal sebagai Sibayak Lau Cih II. Sayang Sekali Sibayak yang ke dua ini tidak lama memerintah. Akibat candu beliau meninggal dunia. Bapa Tua kenal candu dari Belanda. Efeknya sama dengan narkoba. Karena begitu candunya tengkorak kepalanya sampai putih (“Saya ingat ketika kami merenovasi geriten, tengkorak kepalanya sangat putih,” Ribu menimpali). Kemudian jabatan Sibayak dilanjutkan oleh anaknya, Nageri Purba. Hingga akhirnya, setelah Indonesia merdeka, perlahan-lahan jabatan Sibayak menghilang.

Menjenguk Kampung Lau Cih

Didampingi salah seorang cucu Sibayak Lau Cih aku kembali ke kampung Lau Cih. Dengan becak motor, kembali kami susuri jalan lengket dan berair. Persis di depan geriten kami berhenti. Saya mengambil beberapa foto di depan geriten yang sudah dibangun dari semen. “Geriten ini sudah direnovasi dua kali. Terakhir lima tahun yang lalu,” kata Aris. Giriten lama terbuat dari kayu dan ijuk.

Tak jauh di depan giriten ada sebuah jambur. Di dalamnya banyak anak perempuan yang sedang bermain lompat tali ditonton beberapa bocah laki.

Dengan berjalan kaki aku meninggalkan Aris menuju pohon rambe di persimpangan jalan. Simpang tiga. Dulunya bekas tempat berhenti kereta api dan juga bekas bangunan sekolah. Tidak terlihat sama sekali kalau dulunya Lau Cih adalah sebuah kampung yang semarak. Kubuatkan lagi beberapa foto. Berdiri di simpang jalan, kucoba bayangkan Lau Cih jaman dulu dengan Sibayaknya. Lamunan terputus, tiba-tiba Aris datang dengan becanya dan minta maaf karena membuatku lama menunggu. Roda beca tidak mau berputar, kami berdua mengais lumpur merah di roda beca dengan potongan kayu.

Beca melaju lagi, tapi lamunanku masih tertinggal di Lau Cih. Kampung tradisional Karo di ketiak metropolitan. Mata pencaharian utama adalah berkebun pisang dan buah-buahan lainnya. Dibungkus bangunan-bangunan hotel, restauran dan oukup modern sepanjang jalan Letjen Djamin Gintings. Antara Medan Pancurbatu, yang kulintasi hampir setiap hari dari rumah ke kampusku.

*Ditulis 1 April 2005