Saturday, January 19, 2008

MULUT MATAHARI

Dalam suatu kesempatan jeda saat penelitian di pedalaman Nias saya dan
seorang teman mengunjungi banyak desa. Beberapa diantaranya masih
memelihara tradisi lama yang sudah ada sejak jaman batu.

Salah satu desa indah itu bernama Bawomataluo. Dalam bahasa Nias
Bawmataluo berarti mulut matahari. Tidak salah memang karena di desa
yang terletak di atas bukit ini anda dapat melihat dengan jelas
matahari terbit dan terbenam tepat di kedua ujung jalan yang membagi
desa menjadi dua. Penduduk Bawomataluo masih tinggal di dalam
rumah-rumah tradisonal Nias yang khas dengan tiang-tiang penyangga
raksasa.

Dari seorang teman, saya mendapat informasi bahwa Rizaldi Siagian
dengan team Megalitikum Kuantum-nya mengangkat musik tradisional Nias
dan melibatkan seniman tradisional di desa Bawomataluo sebagai salah
satu bahan untuk proyek Megalitikum Kuantum. Desa Bawomataluo adalah
salah satu tempat yang masih memelihara tarian perang Faluaya. Faluaya
adalah sebuah tarian perang kolosal yang ditarikan oleh ratusan
laki-laki, baik anak-anak, remaja hingga laki-laki dewasa.

Biasanya tarian ini ditarikan jika ada penduduk yang meninggal. Di
luar itu, biasanya kita harus memesan dan membayar para penari untuk
mempertunjukkan tarian perang Faluaya. Kabarnya, di Nias sudah sangat
sulit menemukan kampung yang bisa menarikan Faluaya dengan personil
lengkap.

Salah seorang pemuda yang kami temui mengatakan kalau di Bawomataluo
ada alat musik bernama drurinada. Drurinada terbuat dari bamboo dan
cara memainkannya sangat khas. Menurut pemuda ini, sekarang sudah
tidak ada lagi yang bisa memainkan drurinada, karena seniman terakhir
yang mahir memainkannya telah meninggal dunia.

Kekhawatiran punahnya kekayaan budaya di Bawomataluao membuat UNESCO
melakukan pendampingan dan pemugaran berbagai bangunan di desa ini.
Tentu saja program ini melibatkan seluruh penduduk Bawomatalou.

*******

Melihat kekhasan dan keindahan Nias mau tak mau saya teringat dengan
Karo. Melihat rumah tradisional mereka, saya teringat juga kepada
rumah adat Karo. Bedanya, saudara-saudara kita di Nias masih menempati
dan memelihara rumah tradisional mereka. Sayangnya, gempa telah banyak
membuat perubahan sehingga beberapa kampung harus kehilangan rumah
tradisional.

Melihat kesenian mereka saya membayangkan juga kesenian Karo.
Teknologi komunikasi membuat setiap orang di negeri ini termasuk di
pelosok Nias dapat mengakses musik-musik modern. Di tengah derasnya
musik modern, musik tradisonal masih hidup di tengah masyarakat Nias.
Sayangnya, karena tidak ada perimbangan dalam mengakses kesenian
tradisional dan modern membuat musik modern menjadi lebih umum.

Saya kembali membayangkan Karo. Saatnya orang Karo juga membuat suatu
perimbangan antara musik tradisional dan modern supaya kita sendiri
tidak alpa dengan kekayaan kita. Bukan maksud menyalahkan sesiapa,
tetapi menjaga yang sudah ada adalah kewajiban kita.

No comments: