Monday, November 06, 2006

Yayasan Pendidikan Kristen Alpha Omega, Kaban Jahe

Dari Ruth br Sitepu Hingga Arahannya Ke Depan

Oleh : Ita Apulina Tarigan

“... Saya ingin bertemu Tuhan Yesus, Saya ingin melihat wajahNya, Saya lelah berjalan, dalam dunia yang fana, Saya ingin bertemu denganNya ...”

Suatu hari Minggu, di GBKP Simpang Tuntungan, Pancur Batu. Sebelum khotbah, sang pengkhotbah mempersilahkan sekelompok penyanyi melantunkan lagu pujian. Seorang pria dan wanita serta 5 anak cacat mental dari Sekolah Alpha Omega Kaban Jahe ikut berdiri dengan sigap di depan. Si pria memetik gitar dan mereka mulai bernyanyi. Melantunkan syair di atas tadi. Beberapa jemaat mengusap air mata.

Seminggu kemudian kami mengunjungi Sekolah Alpha Omega. Di sambut pria pemetik gitar, yang ternyata adalah direktur sekolah itu, Pdt Obed Ginting, Sth. Di ruang tamu merangkap kantor, percakapan antara direktur ini dengan kami berlangsung akrab dan penuh kekeluargaan. Setelah berkenalan, Pendeta kita yang ramah inipun mulai menerangkan sejarah berdirinya Yayasan Pendidikan Kristen Alpha Omega, Kaban Jahe.

Ruth br Sitepu

GBKP memulai sekolah ini oleh adanya masalah yang dihadapi seorang pendetanya, Alm. Pdt. Salomo Sitepu. Pada Sidang Sinode GBKP 1985, Pendeta Sitepu terpilih sebagai Sekbid 3 Bidang Pelayanan. Hal ini membuat beliau harus berdomisili di Kaban Jahe. Kepindahannya ke Kaban Jahe terkendala karena putrinya Ruth menderita cacat mental dan di Kaban Jahe belum ada sekolah khusus untuk penderita cacat mental.

Pendeta Sitepu tidak malu-malu menceritakan kepada rekan sejawat termasuk Ketua Moderamen saat itu tentang keadaan putrinya. Tidak sia-sia, akhirnya beberapa teman sejawat menyarankan agar Ruth dibawa ke Panti Karya Effata milik HKBP di Laguboti, sebuah Diakoni Karitas yang khusus melayani orang cacat.

Sesampainya di sana, Pendeta Sitepu menemukan banyak anak-anak Karo yang bersekolah di panti itu. Pendeta juga bertemu dengan orangtua mereka. Sebagai sesama orang yang menderita akhirnya mereka bercerita satu sama lain. Dari percakapan itu keluar sebuah ide yang akhirnya menggerakkan Pendeta Sitepu agar GBKP mengadakan panti untuk orang cacat. Kala itu salah atu orangtua anak yang cacat berkata: “GBKP gia mé banci nge banna bagénda, Pandita? Mé la kita ndauh naring ku Laguboti énda?”. Ternyata keterbatasan kita berpikir tentang kesusahan atau kebutuhan kita, menutup pikiran kita terhadap penderitaan orang lain. Dari kesusahan kita ternyata banyak orang yang turut serta ditolong, urai Pendeta Obed Ginting.

Tahun 1987, utusan NHK Belanda Pastor Jacob Sloop berkunjung ke Moderamen GBKP. Dalam percakapan dengan pastor tersebut, Ketua Moderamen saat itu Pdt A Ginting Suka menyampaikan keadaan Ruth br Sitepu tentang kemungkinan mendapatkan beasiswa melanjutkan sekolah. Pastor Sloop ternyata menanggapi lebih dari yang diharapkan.

“Barangkali di Tanah Karo bukan hanya Ruth. Saya harap GBKP bisa mendata berapa orang yang menderita. Jika nanti sudah didapat data orang-orang yang cacat, saya akan bantu mencarikan dana untuk membangun sekolah dan sarananya,” kata Pastor Sloop saat itu.

Hanya satu syarat yang diajukan Pastor Sloop, jemaat mau bertanggungjawab terhadap operasional sekolah. Ketika jemaat GBKP Gereja Kota Kaban Jahe mengaku akan bertanggung jawab, pendataan langsung dilakukan dan sekolah segera berdiri. Tahun pertama sekolah berdiri, semua orang Karo yang ada di Laguboti pindah ke Alpha Omega, sekitar 6 siswa.

Alpha Omega Sekarang

Saat ini, Alpha Omega bertujuan memberikan kesejahteraan bagi penyandang cacat dengan dua cara, yaitu mengubah pola pikir masyarakat yang masih negatif terhadap penyandang cacat mental dan yang kedua adalah merehabilitasi penyandang cacat.

Untuk yang pertama, dilakukan kunjungan ke orangtua, penjemataan, mengubah pola pikir keluarga bahwa anak cacat adalah juga karunia Tuhan yang patut kita syukuri, kelas Pendeta Ginting. Saat ini, pola pikir masyarakat sudah mulai berubah. Semakin banyak anak cacat yang diantar ke sini untuk bersekolah. Cuma, akhirnya ada masalah, ketika keluarga mengantarkan orang cacat ke Alpha Omega sudah bukan anak-anak lagi, sambung Ginting. Kadang sudah berumur 35 tahun atau 40 tahun. Hal ini terjadi ketika orangtuanya sudah meninggal dan dia sudah tidak punya tempat lagi. Sampai saat ini Alpha Omega masih bergumul untuk kasus yang serupa ini, demikian ungkap Pendeta Obed Ginting.

Agak rumit dengan mental masyarakat karena mereka mengganggap anak cacat adalah aib. Di awal sekolah berdiri, para guru dan pengasuh Alpha Omega ku kuta-kuta mencari anak-anak cacat. Orangtua mereka malu membawa anaknya, sehingga guru dan pengasuh memberi pengertian bahwa anak yang cacat juga harus diperlakukan seperti anak normal. Mereka butuh pendidikan dan sosialisasi. Banyak diantaranya tidak mengijinkan anaknya sekolah karena orangtua tidak memiliki uang. Biasanya para guru dan pengasuh memberikan pengertian dengan mengatakan ija pagi lit sénndu jé pagi embahken, tambah pendeta Obed.

Pendanaan

Bukan berarti Alpha Omega berlebih dalam dana. Justru Alpha Omega saat ini masih terus mengharapkan dukungan dan sumbangan dari orang-orang mampu. Banyak cara orang selama ini menyumbang. “Misalna entah erkerja ia, entah ernatal perpulungen, biasana lit tambahkan sekian guni beras man anak-anak Alpha Omega, é maka asum Natal banci berpuluh guni beras si seh i jénda,’ kata Pendeta Obed. Ada juga sumbangan dari jemaat, meski sifatnya masih insidental.

Alpha Omega sudah mulai berhubungan dengan pemerintah agar sebagian dana sosial pemerintah dapat diberikan kepada Alpha Omega. Beberapa perusahaan sudah memberikan juga dana sosialnya kepada Alpha Omega.

Selama ini, kita kesulitan mendapat sumbangan dari jemaat sendiri karena mereka belum memahami sesungguhnya Alpha Omega adalah panti, walaupun bentuknya seperti sekolah. Tidak jarang mereka berkomentar: “Gelarna pé sekolah, mé patut nge nggalar uang sekolah?” Sementara, mayoritas anak-anak ini orangtuanya mesera, ujar pendeta Obed.

Arahan Ke Depan

Mengenai rencana ke depannya, Pdt Obed Ginting menjelaskan: “Arahan kita memaksimalkan anak-anak agar bisa mandiri. Rikutken keadaan Taneh Karo, maka itukur taneh i Lingga sekitar 6 ha. Éndam ipaké sebagé lahan pertanian ras peternakan. Terakhir énda enggo rukur aku entah erbahan pupuk kompos, yaitu bokashi,” jelas Pendeta Obed. Soalnya, kalau pertukangan masih banyak bahaya. Pembuatan pupuk kompos agaknya jauh dari bahaya dan pembuatannya tidak rumit. Saya sedang menyiapkan proposal kepada Departemen Pertanian. Kebetulan mereka punya program pendanaan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan itu saya harapkan kita punya tambahan modal untuk memulai usaha ini.”

Bila kita berkunjung ke perjuman Alpha Omega, kita akan melewati perladangan penduduk dan di ujung jalan, sebuah gerbang dan rumah penjaga sudah menanti. Kiri kanan sudah dipenuhi pohon jeruk yang sudah berbuah. Di sisi lain, perladangan jagung yang diantaranya ditanami cabai dan kopi. Ada ternak babi, lembu dan ayam. Sekitar 8 anak cacat ikut turut serta dalam pengelolaan kebun ini. Mereka bekerja sesuai dengan kemampuannya masing-masing atas bimbingan pengasuh.

Anak-anak itu sangat gembira ketika menyambut kami yang berkunjung ke lahan pertanian mereka. Jabat tangan ramah dan wajah polos dihiasi senyuman membuat dada terasa sesak oleh haru. Masih terngiang di telinga ketika anak-anak itu bertanya, ndigan ka kéna reh?

Kepada saudara-saudara yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang Alpha Omega dapat dihubungi di ykpc@gbkp.or.id dan kepada yang ingin menyumbang dapat mengirim ke Rekening Alpha Omega, BNI Cab Kabanjahe No. Rekening 61574463.

*kunjungan kesana disertai dengan Nathanail, Sadariah br Ginting dan si manis Irene

No comments: