Monday, November 06, 2006

Ronggeng Nambiki Terkenal di Seantero Karo

Oleh : Ita Apulina Tarigan*

Orang-orang Karo dari generasi tahun 50-an hingga 70-an umumnya pernah mendengar nama Ronggeng Nambiki. Sebagian mengerti apa yang dimaksud dengan Nambiki, tapi sebagian lainnya kurang memahami apa itu Nambiki.

Ronggeng adalah bentuk tarian dimana lelaki dan perempuan menari berhadapan secara lebih ‘bebas’. Ronggeng di Sumatera Timur pada mulanya dihidupkan oleh pengusaha-pengusaha kebun asing di masa kolonial, yang bertujuan agar buruh menghabiskan upah yang mereka dapat sehingga mereka terpaksa bekerja terus di sana. Makanya penampilan ronggeng biasanya diadakan pada masa gajian.

Acara ronggeng diadakan dengan mengundang satu kelompok ronggeng, terdiri dari beberapa gadis penari, satu atau dua penyanyi wanita dan beberapa pemain musik. Publik yang umumnya laki-laki dapat menari ke pentas bersama gadis penari setelah membayar ke panitia.

Tidak heran kalau pada masa kolonial banyak kelompok ronggeng di Sumatera Timur, begitu juga halnya di Langkat. Tapi, penduduk Nambiki lah yang membawa ronggeng ke satu arah yang sangat lain dari asalmuasalnya. Semua personilnya adalah penduduk setempat, orang Karo tentunya.

Meski Jaman Belanda usai, Ronggeng Nambiki terus berkembang. Hingga tahun 70-an, Ronggeng Nambiki masih laku keras tidak hanya di Karo Jahe tapi juga di Karo Gugung. Kampung-kampung besar di Karo Gugung seperti halnya Berastepu, Batu Karang, Juhar dan Tiga Binanga menampilkan ronggeng pada acara kerja tahun sebelum Guro-guro Aron.

Makanya, kata ronggeng dan Nambiki melekat satu sama lain. Bagi banyak orang Karo, kata ronggeng terasa tak lengkap tanpa menyebut Nambiki, dan, kalau ada yang menyebut Nambiki, langsung terbayang ronggengnya.


Kampung Nambiki

Nambiki dapat dicapai dengan kendaraan pribadi sekitar 45 menit dari Binjai, melalui jalan besar ke arah Bukit Lawang. Ada kemiripan nasib dengan Lau Cih, suasana kampung yang sederhana saat ini membuat orang tidak mengira kalau dulunya kampung Nambiki adalah pusat pemerintahan dengan gelar balai, Balai Nambiki disebut waktu itu. Hanya ada dua pusat pemerintah di Langkat yang bergelar balai. Satu lainnya adalah .... Kedua balai langsung berada di bawah Sultan Langkat, tanpa kelang-kelang.

Menurut penuturan Husin Sitepu (64 tahun), seorang keturunan Pengulu Balai Nambiki yang ke-10, kala itu Balai Nambiki membawahi 44 dusun yang sebagian besar terletak di sepanjang Sungai Bingei. Rumah Balai yang terletak di pinggir jalan utama kampung menjadi saksi sejarah kampung Nambiki. “Dulunya rumah ini adalah tempat rembuk para pengulu dusun. Termasuk perkara kriminal sering diputuskan di sini,” tutur Husni. Kakek pensiunan pegawai penjara ini juga menambahkan, dulunya Rumah Balai dilengkapi penjara sementara.

Di pekarangan Rumah Balai, terdapat sebuah geritan semen yang baru saja dibangun menggantikan geritan lama terbut dari kayu dan ijuk. “Itu adalah geriten Pengulu Balai yang pertama. Radja Djenda Malem Sitepu Sukanalu Teran. Dulunya memang geritannya masih asli seperti geritan Karo umumnya. Itu baru saja kami renovasi, ’ jelas Sinik Sitepu, yang merupakan adik Husni.

Mengitari kampung Nambiki adalah juga merupakan keayikan tersendiri. Beberapa rumah panggung bergaya Melayu-Karo masih dapat dijumpai selain Rumah Balai. Diantaranya adalah rumah bekas pengulu Nambiki dan juga rumah kakek Menhut MS Kaban.


Di mana Ronggengnya?

Ternyata, dari penuturan beberapa penduduk dan juga para mantan pemusik dan pemainnya, kesenian ronggeng telah lama mati di Nambiki.

“Tidak ada lagi yang mau belajar. Menjadi pemain dan penyanyi ronggeng butuh minat dan kemampuan, tidak bisa sembarangan,” ujar Tepat Kaban (58 tahun), mantan pemusik ronggeng. Menurut Tepat, menjadi pemusik ronggeng tidak mudah. “Alat musiknya adalah gendang dan biola. Penyanyinya harus bisa berpantun,” tambah Tepat. Bahkan, menurutnya, harus bisa bermain sandiwara walaupun tanpa skenario.

Kisah Non br Sinuraya seakan mengamini pernyataan Tepat Kaban. Mantan penyanyi ronggeng yang masih cantik di usianya yang ke-85 ini mengatakan, dia sudah beberapa kali mengajari orang yang datang padanya. “Aku pé la kueteh uga maka la lit si jadi. Enggom kuajari asa beluhku. Adi gundari lanai kueteh, enggo bené kerina,’ tuturnya ketika aku bertanya mengapa tidak mewariskan keahliannya itu.

Non br Sinuraya adalah saksi kejayaan ronggeng. Penyanyi ini bernyanyi sejak usia 12 tahun dan berhenti di usianya ke-25 setelah menikah. “Kerina Taneh Karo enggo kusiar, seh pe aku ku Acih (Aceh-red). Adi Medan-Binjai lanai bo terkataken. Pasar malam Jaman Belanda marénda pé la pernah aku ketadingen,” ceritanya dengan mata berbinar bangga.

* * *

Langit semakin gelap, Nonpun melipat tangan di dada seolah kedinginan. Perlahan mobil kami beringsut meninggalkan Nambiki meninggalkan bayangan Rumah Balai dan menyusuri jalanan yang kiri kanannya dipenuhi tanaman coklat. Sayup di belakang, seolah terdengar kembali lagu ciptaan Tepat Kaban yang dinyanyikannya khusus untuk kami : “... Kuta Nambiki erpulo-puloken durinna simbelang, jahé ras julu ertapinken Lau Bingé simalem......

*Ditulis pada 24 November 2005

No comments: