Monday, September 05, 2011

Gambaran Ringkas: Negel dan Westenberg


Ditulis oleh Juara R. Ginting (untuk pemanasan investigasi kisah ini pada 19 Juli 2007)

Pada tahun 1904, Belanda mencaplok 'Simalungun en Karolanden' sebagai bagian 'De Resident van Ooskust van Sumatra' (Provinsi Pantai Timur Sumatra) yang beribukota di Medan. 'Simalungun en Karolanden' dipimpin oleh seorang controleur dengan ibu kota Seribu Dolok. Sebelumnya, daerah Simalungun dan Karo ini disebut dalam laporan-laporan Belandadengan istilah Zelfstandige Bataklanden (Batak Berdiri Sendiri/Batak Merdeka) karena dianggap bagian wilayah Bataklanden tapi tidak termasuk 'De Resident van Bataklanden' atau nanti bernama De Resident van Tapanoeli.

Yang dikatakan 'Simalungun en Karolanden' sebenarnya terbatas pada Simalungun Atas dan Karo Gugung. Simalungun Bawah dan Karo Jahe telah duluan menjadi bagian 'De Resident van Ooskust van Sumatra'. Sebagian Simalungun Bawah dianggap bagian dari Sultan Asahan dan sebagian lainnya bagian Sultan Serdang. Sebagian Karo Jahe dianggap bagian Sultan Langkat dan sebagian lainnya bagian Sultan Deli dan Sultan Serdang.

Pencaplokan Simalungun Atas dan Karo Gugung berkaitan erat dengan
perlawanan Datuk Sunggal terhadap perusahaan perkebunan asing di daerah Karo Jahe yang mendapat dukungan dari pemuda-pemuda Karo Gugung. Pada tahun 1902, Datuk Sunggal tertangkap di hutan Nang Belawan (tetangga kampung Lingga). Lingga pecah dua. Satu memihak Belanda dan menunjukan kepada Belanda tempat persembunyian Datuk Sunggal. Satu lainnya marah. Mereka membakar rumah-rumah mereka (rumah adat) dan mengungsi meninggalkan Lingga.

Sebelum pencaplokan Simalungun en Karolanden, ada lembaga yang disebut Urusan Batak Merdeka yang dipimpim oleh C.J. Westenberg. Ketika Simalungun en Karolanden dicaplok, Westenberg ini diangkat menjadi controleur Simalungun en Karolanden. Dia beristerikan Si Negel br Sinulingga, putri dari Sibayak Gunung Merlawan (Urung Serbanaman Sunggal).

Nantinya, Simalungunlanden dan Karolanden dijadikan di bawah pemerintahan 2 controleur. Controleur van Simalungunlanden berkedudukan di Seribu Dolok, dan controlur van Karolanden di Kaban Jahe. C.J. Westenberg menentang pemekaran ini karena, menurutnya, Karo dan Simalungun secara tradisional tak mungkin dipisahkan. Menarik juga argumennya dan sangat antropologis. Bila Simalungun dipisah dari Karo, di mana lagi taneh kalak Tarigan (?), katanya. Juhar? Itu memang kerajaan Tarigan (Sibero), tapi Taneh Juhar adalah Taneh Kalak Ginting Munte, katanya. Kalo tak punya taneh panteken, tak sah menjadi bagian society (Karo). Memisahkan tanah dari kedua suku ini berarti menghancurkan society mereka (society harap dibaca bukan kumpulan manusia tapi sebuah sistim yang mengatur hubungan antara manusia). Ambtenaar yang sangat antropologis, begitulah kesan-kesanku ketika minggu lalu membaca surat-surat pribadinya di rumah cucunya di Den Haag.

Westenberg tak terbentuk. Dia terus mengkritik pemerintahnya. Akhirnya, dia dipromosikan menjadi resident (baca: gubernur) Tapanuli. Selama jadi gubernur dia sering berkunjung bersama istri dan anak-anaknya ke Tongging (dia bermerga Ginting Munte Tengging), Dokan (panteken Ginting Munte Ajinembah) dan Kabanjahe. Karena itu, orang-orang Karo menyebutnya Tuan Siboga. Belum setahun dia menjadi gubernur, seperti Multatuli yang juga tak tahan atas perlakuan pemerintahnya, Westenberg mengundurkan diri dan kembali ke Den Haag membawa anak-anak dan istrinya si Negel.

Tak sampai 20 tahun kemudian, dia meninggal dunia dalam usia sekitar 50 tahun. Si Negel pulang ke Kabanjahe bersama seorag putranya Hans Westenberg yang nanti mendapatkan penghargaan Magsasay (hadiah nobel tingkat Asia) atas jasa-jasanya di bidang pertanian/ pengadaan pangan.

Dalam sebuah suratnya kepada ibunya, Westenberg menceritakan siapa
istrinya itu. Ayahnya terbunuh oleh Bapa Nguda dan Negel serta adiknya laki-laki diusir dari kampung. Di kampung tempatnya mengungsi, adiknya itu terbunuh dengan kepala dipenggal (karena menghamili pacarnya yang hendak dikawinkan dengan laki-laki lain). Tak ada orang berani menguburkannya. Negel sendiri menguburkannya. Dia mengadu ke polisi.Hingga sidang pengadilan, hadirlah Westenberg dan terperanjat melihat Negel lancar berbahasa Belanda. Memberikan kesaksian di pengadilan dalam bahasa Belanda sambil meneruskan pekerjaannya menyulam.

Ada beberapa hal lain yang membuat bulu kuduk kita merinding mengenal tokoh wanita Karo ini. Merinding karena bangga sekali. Secara internasional dia juga sangat terkenal di Belanda. Tapi tidak aku ceritakan di sini. Itulah yang membuat Westernberg jatuh cinta setengah mati padanya.

Kisah-kisah formal masa penjajahan dikaitkan dengan kisah-kisah pribadi, anak manusia, termasuk kisah kasih dalam perjuangan, akan sangat menarik untuk ditulis di koran kita.

Siapakah diantara kita yang mau membuat ulasan dari novelette Synulta E.R. berjudul Ale-ale Uis Gara? Ini adalah sebuah roman masa perjuangan yang padat dengan kisah kasih di sela-sela dentuman mortir dan deru pesawat mustang Belanda. Adakah pula kita mau membahas kisah mengungsi
yang dinyanyikan oleh Sinek br Purba dan Malem Pagi Ginting dalam kaset Mengongsi? (Direkam di rumah Mayor Pinem saat Hari Buruh 1 Mei 196?)

O turang la megogo ...... Kai aku nindu, ari kaka?
Arih-arihta tetap ersada, arih oh turang .....

1 comment:

Ujung Bawang Simalem said...

thanks utk informasinya kak, teruslah berkarya, mengungkap sejarah yg mungkin akan hilang ditelan zaman,
MJJ