Sunday, December 17, 2006

Takut kolestrol? Enda cibet, kadih!
Batukarang Memproduksi Cibet


Cibet adalah makanan khas Karo yang mungkin agak aneh bagi orang bukan Karo. Cibet merupakan larva yang akan tumbuh menjadi capung. Cibet senang bermain di sawah dan rawa-rawa. Di sana mereka tumbuh menjadi capung.

Di beberapa daerah Karo yang penghasilan utamanya bertanam padi sawah, sang cibet bagaikan sahabat di kala suka dan duka. Cibet kaya protein dan paling enak digulai seperti nurung ikerahi. Tak heran, sesekali petani juga doyan mengkonsumsi cibet. Kalau sekedar dimakan sendiri, tidak sulit memperolehnya.

Tapi... Tunggu dulu. Itu dulu. Beberapa dasa warsa silam. Sekarang ini, bukan main sulitnya mendapatkan cibet. Jumlahnya menurun drastis sejak gencarnya pestisida campur tangan di sawah. Bukan berarti cibet tidak ada lagi, tetapi perlu waktu dan tenaga ekstra mendapatkannya.

Ada segelintir orang yang terus berusaha agar cibet tetap masuk dalam daftar menu orang Karo. Mereka mencari, menggulainya dan, kemudian, mereka jual. Pencarian cibet biasanya dilakukan para keluarga terdekat, terutama anak-anak. Cibet dimasak kerah dan kemudian siap dikonsumsi.

Pemasaran cibet masih tradisional. Mereka bawa ke pasar dengan kukusan aluminium. Gelas kecil sebagai takaran. Satu gelas berharga 5 ribu rupiah. Ini tak sulit ditemui pada wari tiga.

Bagaimana dengan hari-hari biasa? Nah... Ini salah satu terobosan pasar. Mereka menjajakan dagangannya dari jambur ke jambur. Tamu-tamu di jambur mereka kelilingi satu per satu. Banyak tamu jambur membelinya karena alasan kesehatan. Terutama yang punya masalah dengan kolesterol, darah tinggi dan penyakit makmur lainnya.

“Kari daging kang bengkaunta. Pangenlah cibet enda sipan. La lit lemakna,” begitu sebagian pembeli bertukas.

Kebetulanaku bertemu seorang penjaja cibet. Dialah yang pertama kali menjajakan cibet dari jambur ke jambur. Kini, banyak orang mengikuti jejaknya.

“Adi kerja si maté-maté, la aku pang erbinaga, nak, la kuakap cocok. Kalak ngandung, kita cari makan ka jé,” ujarnya saat ditanya mengapa dia muncul hanya pada acara perkawinan.

“Aku labo Batukarang nari, kadih. Ula kari akapndu aku anak jah,” sanggahnya aku menanyakan sejak kapan Batukarang memproduksi cibet.

“Tapi, jah nari cibetndu é,” timpalku

“Jah rumahku. Jah anakta. Ban anak jah impalta, ah. Aku anak Jahé-jahé nge. Kempak Bukit Lawang ah. É kap maka marénda usur aku tokohi kalak jah. Anak Jahé-jahé la ergumbar, nina. Ih....mis nge kupantik,” urainya menggebu.

“Uga bandu mantiksa?”

“Iyak...pokokna enggo kutuduhken man anak kuta maka aku rajin ras beluh. Enggo kutukur rumahku. Kutukur sabahku sada panggung. Enggo ka kutama lau ku rumah. Lit ka kuban gundari kamar mandiku,” jawabnya bangga.

Usaha sederhana ini ternyata membuka lapangan kerja bagi orang lain. Dia mengerahkan anak-anak remaja di kampung mencari cibet. Untuk segelas kecil cibet dia bayar seribu rupiah. “Tiap wari lit sinaruhken cibet ku rumah,” ungkapnya.

Kebetulan, cibet masakan beru Tarigan ini sudah lumayan terkenal. Suatu ketika dalam acara perayaan Paskah Moria yang diadakan di Jambur Halilintar Medan, dihadiri ribuan Moria, dia diundang panitia membawa cibetnya. Tidak tanggung-tanggung, dia bawa 5 kukusan sekaligus. “Licin tandas,” katanya.

Tidak selalu cibetnya habis. Tetapi ini tidak mengurangi semangatnya. “Bagé kin adi erbinaga. Maun keri, maun lang. Émaka kuban kang cinaku ras kusuan pagé, gelah ula putus uang masuk é,” katanya berfalsafah.

Kerja kerasnya tak sia-sia. Satu rumah sederhana dan sepetak sawah dia miliki. Bangga dia cerita tentang anak-anaknya. “Telu anakku, teluna sekolah. Kerina juara. Merhat kal aku seh pagi sekolahna kerina. Sekalak anakku gundari sekolah i Magelang, i SMA Taruna,” tuturnya bangga.

Ibu yang mengaku cepat yatim piatu ini bilang tidak pernah malu berdagang cibet dari jambur ke jambur. Selain mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, dia sudah beri warna baru dalam khasanah masakan Karo. Inikah pelestarian tradisi yang sesungguhnya? Atau inikah yang disebut berhanyut bersama kekinian?.



 

No comments: