Monday, November 06, 2006

Suatu Hari Cukera Dudu di Lau Debuk-debuk
Oleh : Ita Apulina Tarigan*
Mata air panas Lau Debuk-debuk di Desa Daulu (Kab. Karo) cukup dikenal oleh orang-orang Karo sebagai sebuah daerah wisata yang unik. Di sana ada beberapa mata air panas yang mengalirkan air bercampur belerang ke sebuah kolam atau tepatnya danau kecil. Orang-orang bisa mandi air panas di sana.
Sebagian besar orang Karo pernah mendengar Lau Debuk-debuk sebagai tempat keramat. Konon, di sana menetap kedua putri Guru Penawar yang mati terserang cacar (remé). Sebagian orang menyebut mereka Beru Karo Sada Nioga, sebagian lain menyebutnya Tandang Riah Tandang Suasa. Meskipun ayah mereka (Guru Penawar) memiliki serbuk (pupuk) yang dapat menghidupkan kembali orang mati, Beru Kertah Ernala (Keramat Gunung Sibayak) keburu mencuri tulang-belulang mereka sebelum Guru Penawar tiba dari Taneh Alas. Begitulah awalnya, menurut cerita itu, Lau Debuk-debuk menjadi tempat pemandian kedua putri Guru Penawar yang, sebenarnya, bermerga Perangin-angin Kacinambun.
Namun, agaknya tak begitu banyak yang tahu bahwa setiap hari Cukera Dudu (disebut juga Cukera Ku Lau) selalu ada yang mengadakan upacara erpangir di Lau Debuk-debuk. Cukera Dudu adalah nama hari ke-13 setiap bulannya dalam kalender Karo yang sebulannya terdiri dari 30 hari.
Cukera Dudu Desember 2005
Untuk Desember 2005, Cukera Dudu jatuh pada hari Rabu tanggal 14. Mengunjungi Lau Debuk-debuk pada 14 Desember 2005 yl. ternyata memberi kesan berbeda terhadap Lau Debuk-debuk yang kita kenal di hari Minggu, saat banyak wisatawan dari Medan mandi di sana. Tak ada wisatawan kecuali beberapa keluarga yang sengaja datang ke sana untuk melakasanakan upacara erpangir ku lau.
Ada 4 mata air panas di luar kolam utama: 1. Telaga Beru Karo Sada Nioga, 2. Telaga Beru Sembiring, 3. Telaga Panglima dan 4. Telaga Guru Penawar. Setiap mata air sudah dipugar atas swadaya dari pengunjung yang merasa mendapat berkah dari Nini keramat mata air tersebut. Keluarga yang hendak erpangir terlebih dahulu mengadakan ercibal dan erlebuh di salah satu mata air ini.
Orang-orang yang erpangir biasanya datang dalam rombongan yang terdiri dari anggota keluarga. Ada yang datang karena memang disarankan oleh guru (dukun Karo) atau datang erpangir karena kebutuhan rutin dirinya sendiri. Para guru perjinujung, misalnya, paling tidak setahun sekali harus mengadakan erpangir ku lau.
Kelompok yang datang ke sana berasal dari mana saja. Pada Rabu 14 Desember 2005 itu, ada yang datang dari Binjai, Bahorok dan Karo Gugung. Tak jarang mereka berangkat jam 2 pagi dari kampung agar bisa tiba pagi-pagi sekali. Bahkan sehari sebelum Cukera Dudu tiba, mereka sudah sibuk mempersiapkan sesajen, memasak bekal dan membeli kebutuhan erpangir.
Urutan Acara
Sebelum erpangir dimulai, biasanya di pinggir telaga disusun berbagai macam sesajen. Bermacam penganan ada di sini, seperti pisang, cimpa, jeruk, buah pir, apel dan banyak lagi disajikan dengan rapi dan biasanya dialasi dengan tikar atau uis dagangen. Ada dua hal yang tidak pernah ketinggalan, yaitu daun sirih dan rokok yang dijepit di ranting kayu yang dipacakkan.
Maka mulailah dipanggil (erlebuh) Nini yang ingin ditemui. Seperti yang dilakukan oleh rombongan orangtua Novita Sari br Sebayang, penyanyi cantik yang namanya mengorbit akhir-akhir ini di blantika musik pop Karo. Keluarga Sebayang ini tidak pernah melewatkan Cukera Dudu untuk erpangir di Lau Debuk-debuk. ”Seingatku, sejak kecil kami sudah dibawa ke sini,” ungkap Novita dengan polosnya.

Guru yang memanggil Nini biasanya dibawa oleh keluarga yang erpangir. Kebetulan Novita tidak perlu memanggil guru, karena ibunya sendiri TL beru Surbakti adalah guru. Ibu Novita adalah ketua Sada Perarih, Perkumpulan Guru Perjinujung Deleng Sibayak di Medan. Perkumpulan ini tampaknya mirip dengan Arisan Perjenujung Simpang Kuala Medan yang menjadi terkenal di dunia antropologi karena Prof. Dr. Mary Steedly dari Universitas Harvard membahasnya secara serius dalam bukunya yang berjudul Hanging Without A Rope.
Nini menghibur yang berkeluh kesah dan memberikan ramuan obat. Kadang Nini menjernihkan yang berselisih. Kebijaksanaan ini disampaikannya dengan bersenandung. Terkadang melalui dialog. Kita temukan beberapa hal yang lucu tetapi akrab atau kadang terlontar kata yang tidak dimengerti maknanya. Seperti ketika Nini meramal masa depan perekonomian seorang gadis. ”Sabar-sabar nakku, gundari lenga kin lit sénndu, cukup man ras ongkos saja. Pepagin mbué nge rehna. Ban buéna, dahkam, man embahenken pagi ku rumah galang,” ujar Nini melalui guru. Si gadis terbingung. Orang-orang di sekitarnya menjelaskan bahwa rumah galang berarti bank. Wah.......
Di semua kelompok yang melakukan ritual terdapat suasana seperti itu. Terkadang Nini mengajak menari atau meminta yang bertanya padanya untuk bernyanyi. Acara cengkerama ini berlangsung cukup lama.
Acara akan diakhiri dengan erpangir. Nini mangiri seluruh anggota keluarga dengan ramuan yang sebelumnya sudah didoakannya. Semerbak wangi bunga dan jeruk memenuhi udara mengalahkan aroma belerang. Siraman pangir di kepala disambut dengan tawa gembira. Setelah itu biasanya para keluarga pamit pada Nini. Guru mengangkat tangan tinggi-tinggi dan mata terpejam, sambil kakinya terus menari mengikuti irama musik kulcapi atau belobat yang diputar lewat tape recorder. Sampai guru akhirnya kembali normal dan Nini meninggalkan tubuhnya.
Makan Siang
Erpangir biasanya selesai menjelang siang. Setiap keluarga membawa bekal bermacam-macam lauk. Setelah erpangir mereka mandi di kolam Lau Debuk-debuk dan sesekali naik ke darat untuk makan. Demikian juga halnya guru Beru Surbakti yang memanggil Nini. Mengganti pakaian dengan basahan, kemudian melepas seluruh perhiasan emas berlian yang ada di sekujur tubuhnya.
”Mengapa begitu banyak perhiasan dipakai?” tanyaku. ”Adi la ermaga-maga, la ban mejilé, jungut-jungut Nini ah, la kari ia nggit reh,” ungkapnya seraya bersiap turun mandi ke kolam .
*ditulis 20 Desember 2005

No comments: